Momen Kedelapan

30 10 4
                                    

Setiap orang berhak menganggap siapa sebagai apa. Dikatakan atau tidak, kamu yang menentukan kenyamanannya.
***

Aku sudah izin ke Mbak Ginuk untuk tidak datang ke toko pada hari Minggu karena ingin merehatkan tubuh yang agaknya masih sedikit meriang. Sepanjang ekskul tadi saja, demamku kembali naik. Ruang mading mendadak ramai karena suara bersinku yang tak sudah-sudah. Bersyukur Mbak Ginuk mengizinkan, bahkan memberi tambahan izin sampai hari Senin. Bos yang sangat baik hati dan humble. Beliau selalu memberikan keleluasaan untukku. Mau izin karena ada acara sekolah, silakan. Mau bolos karena capek dengan tugas sekolah, silakan. Hanya saja, aku yang tidak ingin kehilangan rupiah. Bayaran menjaga toko Mbak Ginuk dihitung per jam hadir. Meski tidak seberapa, bagiku yang masih sekolah, uang segitu sangat berharga. Belum lagi kebutuhan akan hobi membaca yang jelas-jelas butuh uang lebih agar terpenuhi.

Sekolah mulai sepi menjelang pukul setengah lima. Begitu ekskul selesai, aku tidak langsung pulang. Sore yang cerah sangat sayang untuk dilewatkan. Belum lagi, area depan sekolah sangat asyik untuk menonton matahari tenggelam. Hamparan sawah yang sebagian sudah dipanen. Bahkan, sebagian lagi sudah dijadikan tempat pembibitan.

Meski terlihat seperti orang bego karena duduk sendirian di pinggir jalan, aku tidak peduli. Suasana kali ini sangat nyaman. Kebetulan, pohon flamboyan di dekat gerbang sedang berbunga lebat. Beberapa mahkotanya berguguran diterpa angin. Cantik sekali untuk dijadikan spot foto. Sayang, aku tidak punya ponsel dengan kamera.

Sebuah sepeda motor matic warna hitam berhenti tepat di depanku. Penunggangnya tidak lain adalah Kak Reksa. Kupikiri cowok ini sudah pulang tadi.

"Kok, belum pulang, Tha?" Kak Reksa turun dari motor dan bergabung denganku duduk beralas rumput di pinggir jalan.

"Lagi ngadem dulu. Mau liat sunset juga. Cuacanya lagi bagus."

"Liat sunset, tuh, jangan sendiri. Berdua, dong." Kak Reka menaikturunkan alis.

Tahu, kok, tahu. Dia ini sedang mengode bahwa lebih baik menonton sunset dengannya daripada sendiri. Dasar Tukang Gombal!

"Tergantung. Kalau berdua sama orang enggak asyik, ya, nontonnya juga enggak asyik. Lagian, kenapa Kakak juga belum pulang?"

"Tadi beresin sesuatu di ruang OSIS."

O, iya. Kak Reksa juga anak OSIS. Aku sempat beberapa kali melihat dia waktu MOS kemarin, entah mengawas gugus mana.

"Kirain godain anak gadis orang lagi." Mencandai Kak Reksa bukanlah hal yang menakutkan.

Cowok ini sangat ramah, sekalipun berkali-kali dikatai buaya darat oleh teman-temannya. Lagi pula, seperti yang Mbak Nura jelaskan, gadis-gadis malang yang diputusin Kak Reksa, ya, karena ulah mereka sendiri.

"Kamu, tuh, mulai kemakan omongan Agung cs."

"Aku melihat sendiri faktanya, kok."

"Masa? Kapan? Perasaan, akhir-akhir ini Kakak enggak godain gadis mana pun."

Dih, sok pakai enggak sadar kalau PDKT-in aku?

"Lagian, Kakak ngapain suka gonta-ganti pacar?"

"Mereka yang maksa, Tha." Ada nada frustrasi yang kudengar dari jawabannya.

"Dan Kakak enggak tega menolak?"

Kepalanya mengangguk sebagai jawaban. 

"Padahal, sebuah hubungan yang dimulai dengan kebohongan enggak akan pernah mulus, loh."

"Sebenarnya, Kakak enggak pernah benar-benar suka sama para cewek itu."

Aku menepuk dahi. Enggak suka, tapi tetep dikencani? Ya, buaya dasar!

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang