Momen Kedua Puluh Lima

30 10 0
                                    

Baiklah. Pada akhirnya memang akan seperti ini. Kita punya jalan masing-masing untuk ditempuh.
***

Kenapa sesulit itu untuk mengatakan alasannya?

"It's okay, Ga. Aku juga enggak pernah minta kamu antar aku, 'kan? Apa pun alasannya, kalau memang kamu enggak mau utarakan, ya, enggak apa-apa. Aku enggak pernah mempermasalahkan ini, kok. Aku paham. Kamu juga makin sibuk di bulutangkis, 'kan? Bentar lagi ada turnamen yang jauh lebih besar dari turnamen kabupaten. Kamu harus fokus untuk persiapan. Ka--"

"Bodoh."

"Hah?" Aku menengok ke Rashaka. Sejak tadi dia diam, tetapi sekalinya angkat suara malah mengatakan sesuatu yang bikin sakit telinga.

"Ayo pulang!" Tanpa permisi, tangannya langsung menggamit tanganku.

"Sha, sebenarnya ada apa?" Aku memburu sepanjang langkah kami mendekati motor matic birunya. Sempat kutengok Raga yang masih terduduk di bangku teras.

"Nanti juga kamu tahu. Kalau memang cowok itu enggak mau kasih tau sekarang, ya, biar Tuhan yang membukanya nanti." Rashaka menyerahkan sebuah helm padaku. "Pake."

Aku menerimanya dengan banyak tanda tanya dalam kepala.

Mereka ini kenapa? Apa yang sebenarnya ingin Raga sampaikan? Waktu? Biar Tuhan yang buka semuanya? Ih, apa, sih?

***

Desas-desus itu terdengar beberapa minggu kemudian. Kabar kalau Raga ternyata sudah jadian dengan seorang adik kelas. Kabar yang cukup menggegerkan kelas XI IPA 2, bahkan alumni X-5. Seorang Raga jadian adalah sesuatu yang wow. Cowok itu cukup dingin menanggapi cewek-cewek yang dengan terang-terangan mendekatinya. Lalu sekarang muncul kabar dia pacaran, tetapi sama sekali tidak mencoba menepis kabar itu sebagai sesuatu yang salah.

Diam berarti iya. Apa itu yang ingin dia tunjukkan? Omong-omong, gosip tidak menyebut nama gadis yang dipacari Raga. Clue sementara menyebutkan kalau itu adik kelas. Apa mungkin ....

"Syok, loh, aku dengar kabar ini." Tiana bersungut, tidak peduli mulutnya penuh bakso.

"Jangankan kamu, aku aja syok, Ti." Melisa menimpali.

"Kalian kenapa bisa sampai syok begitu, sih? Ya, wajar kali kalau Raga pada akhirnya suka sama cewek. Dia masih normal, 'kan?" Anindya yang memang belum mengenal dekat Raga hanya bisa berasumsi seperti itu.

"Raga normal, itu benar. Tapi Raga jadian sama cewek lain? Itu yang aneh." Nuri menyahut setelah menyeruput es teh manis.

"Loh, anehnya?" Anindya masih tidak menemukan akar masalah ini. "Wajar, kan, Tha, kalau Raga suka cewek?" Kali ini Anindya mengarahkan tatapannya kepadaku.

"O? O, ho oh. Wajar banget." Aku menjawab sambil memasang tampang bego.

Nuri, Melisa, dan Tiana sama-sama menepuk dahi.

"Diberitahukan kepada Talitha Saraswati kelas XI IPA 2 untuk segera menghadap Ibu Vivi. Sekali lagi, sekali lagi. Diberitahukan kepada Talitha Saraswati dari kelas XI IPA 2 untuk segera menghadap Ibu Vivi." Terdengar pengumuman dari speaker yang terpasang di seantero sekolah.

"Dipanggil, tuh, Tha." Nuri mengulang.

Aku mengangguk lalu mengeluarkan selembar lima ribuan dan menyerahkannya ke Nuri. "Tolong titip bayarin baksoku, ya."

"Okeh."

Aku segera beranjak dari kantin menuju ruang guru. Ibu Vivi yang dimaksud pengumuman tadi adalah guru Fisika kelas XI. Ada apa gerangan sampai beliau memanggilku? Apa aku membuat kesalahan fatal di ulangan tengah semester kemarin? Nilaiku turun?

Ada yang Memang Sulit DilupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang