UNFORTUNATELY -1-

613 44 11
                                    

-GITA-

"Gimana? Semua udah aman kan? Baju? Ketering?"

Aku tidak berhentinya bertanya pada laki-laki di sampingku ini untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik hingga hari H berlangsung.

"Oh ya, trus yang kemaren gimana? Lo udah hubungi pihak WOnya kan? Apa perlu gue yang–"

"Ta, stop." Dia terkekeh setelah menyuruhku berhenti mengoceh.

Aku menoleh ke arahnya dengan alis bertaut. "kenapa ada yang kurang, Sa? Atau kelupaan sesuatu?"

Eksa hanya terkekeh lagi sambil memencet tombol lift untuk menuju basement. Laki-laki yang sedari tadi berjalan berdampingan denganku ini– memiliki tubuh tidak terlalu tinggi jika disandingkan dengn pemain basket tapi cukup tinggi jika aku berdiri bersebelahan dengannya karena aku hanya sebatas dagunya. Kulitnya yang sedikit gelap tapi bagian wajahnya cukup cerah, hidungnya yang kecil tapi mancung membuatnya terlihat menggemaskan bercampur tegas terlihat dari rahangnya yang sangat kokoh. Hal itu adalah poin plus yang membuatku menilainya nyaris sempurnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan, dari jutaan wanita di dunia ini, hanya satu yang beruntung untuk memilikinya dan yang akan dinikahinya.

Setelah kami masuk kedalam lift dia baru menjawab, "enggak ada Ta. Tapi lo nanyanya satu-satu dong, bingung gue."

Aku memanyunkan bibirku setelah mendengar jawabannya yang terlewat sangat santai, padahal hari H tinggal mengitung beberapa minggu saja.

"Gak usah manyun gitu," ucapnya sambil tangannya menggeplak bibirku. "Semuanya udah beres kok, termasuk baju dan katering. Soal WO, kemaren gue udah hubungi mbak Rani, dan langsung bilang oke. Udah pokonya lo tenang aja."

Aku dapat bernafas lega mendengar semuanya. Karena jika ada satu hal yang kurang, aku sudah siap menghandlenya sebelum hari H benar-benar dekat.

"Lo mau makan apa?" tanya laki-laki itu, setelah kami keluar lift dan berjalan menuju mobil milikinya terpakir.

"Apa ya? Keknya makan nasi goreng Cak Aji enak sih."

"Setuju," jawab Eksa sambil menutup pintu mobil dan menjalankan mobilnya keluar gedung hotel tempat kami tadi mengecek lokasi.

***

-EKSA-

Gue baru aja masuk ke dalam mobil kembali setelah memesan dua porsi nasi goreng jawa pedas Cak Aji sesuai yang diinginkan cewek di sebelah gue.

Sebenernya gue gak terlalu suka pedas. Gue gak tau kenapa, cuma untuk beberapa hari ini gue mau melakukan sesuatu yang berhubungan dengan dia dan tentunya bersama dia. Untuk beberapa hari aja, sebelum–

"Sa, lo tau gak sih? Gue sejujurnya sempet takut bang Aru gak suka sama model undangannya," Ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada sebuah undangan yang telah dia ambil dari dalam paper bag coklat dan membuka bungkus plastiknya satu.

"Lo tau sendiri kan bang Aru gimana? Banyak banget aturan, yang A lah, yang B lah. Padahal yang mau nikah siapa coba."

Cewek disebelah gue ini gak ada berhentinya buat ngoceh. Ada aja yang di omongin. Mulai dari hal-hal kecil sampai yang besar. Tapi kalau gak gitu bukan Gita namanya, cewek dengan rambut bergombang hitam sebahu, hidung yang tidak terlalu mancung malah nyaris datar. Tapi memiliki bibir yang cukup proposional dengan gigi-giginya yang nampak kecil saat tersenyum, tertawa atau nyengir, membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan. Gue bahkan memiliki panggilan 'Hiu' untuknya.

Jika diukur dari Beauty Standard orang-orang diluar sana, Gita tentu tidak masuk dalam kriteria. Badannya yang menurut gue tidak besar juga tidak kurus, terlihat dari gumpalan lemak kecil di beberapa bagian tubuhnya, seperti lengan bagian atas, paha, betis dan pipinya. Serta kulitnya sawo matang khas orang Indonesia yang memberikan kesan eksotis.

Gita memang terlalu biasa untuk dilihat dengan sekali kedipan mata, tapi kalau dilihat lebih dalam, gue bakal bilang dengan jujur dan tegas kalau Gita sebenernya 'manis' dan bisa membuat untuk tidak bisa berpaling dari apapun saat lihat wajahnya.

Oh ya, satu lagi, gue suka Gita memperlihatkan telinga kecilnya entah saat ia menyepol rambutnya atau saat menyelipkan rambutnya dibalik telinga yang sangat pas dan membuat wajahnya lebih proposional. Bahkan gue sering membelikannya jepit dan bandana agar gue lebih leluasa melihatnya.

"Pokoknya ngerepotin banget lah abang lo itu!"

Gue berdeham. Benarkan? terlalu asik memperhatikannya dalam diam membuat gue lupa dengan ocehannya tentang bang Aru. Seperti yang tadi gue bilang.

"Lo juga kan?," ucap gue tiba-tiba karena dia gak ada berhentinya membahas bang Aru.

Gita terlihat menautkan alisnya, bingung. "Gue? Emangnya gue kenapa?" Tanyanya sambil menunjuk dirinya sendiri.

"Hmm ..."

Gue membasahi bibir karena jujur sebenernya gue bingung harus menjawab apa.

"Hmm, ya lo juga repotkan."

Astaga gue ngomong apa sih?! Mau ngomong aja ribet. Gita jelas masih bingung.

Gue berdeham lagi setelah menghembuskan nafas panjang. "Maksut gue... ini kan bukan pernikahan lo, tapi lo mau banget gue repotin buat urus semuanya."

Sepelan itu gue ngomong karena susah dan takut salah ngomong, tapi Gita malah meresponnya dengan tawa yang sangat nyaring.

"Beda konteks dong Sa..." Gita menjeda kalimatnya dulu untuk memutar posisi duduknya sedikit menghadap ke arah gue. "Nih, abang lo kan 'ngerepotin' hal-hal yang gak perlu dan lo gak minta dia buat ikutan rempong. Nah, kalo gue 'direpotin' lo atas dasar 'kemauan' lo sendiri. Jadi, apa salahnya juga gue mau direpotin sahabat gue sendiri?"

Gue menelan luda dengan kasar mendengar penjelasannya.

"Lagian, siapa coba yang katanya abis ngelamar cewe depan orang tuanya trus tiba-tiba tengah malem telfon gue, 'Ta, plis gue bingung, gue bingung, lo bantu gue handle semuanya sampe hari H ya? Lo harus mau gue repotin, gue gak mau tau.' Siapa coba yang bilang gitu?! Salah siapa coba? Ha?!"

Sialan! Kenapa pake diinget dan ikutin sih Ta kata-kata gue. Iya deh iya salah gue, dan sekarang gue nyesel udah minta direpotin lo. Tentu hal itu hanya gue ucapkan dalam hati.

Untungnya suara ketukan jendela dari Cak Aji yang membawakan dua porsi nasi goreng untuk kami bisa menolong gue. Beliau sudah hafal kalau kami lebih suka makan di dalam mobil dan rela mengantarkannya ke tempat mobil gue terparkir yang jelas agak jauh dari gerobaknya dan lebih sepi dari eksitensi manusia.

Dan, yang memiliki ide untuk makan di mobil pertama kali adalah Gita. Termasuk yang mengenalkan nasi goreng terenak ini pertama kali dan telah menjadi langganan kami sejak kami menggunakan seragam putih biru.

Gue gak tau, tapi gue selalu cocok dengan apa yang dipilih dia. Banyak juga yang udah kami lewati, tapi gak sedikit pun bisaterlepukan di ingatan gue, bahkan kenangan saat pertama kali kami berinteraksi.


***

Halloo, sebelumnya terima kasih bagi yang sudah menemukan cerita ini. aku harap kalian dapat menikmati cerita ini. maaf jika ada banyak kesalahan dalam penulisan. Tapi, aku menerima kritik dan saran kalian^^

UNFORTUNATELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang