-GITA-
Aku terbangun setelah mendengar kicauan burung peliharan milik ayah yang masih terdengar meski aku berada di dalam kamar. Mereka memang seolah ditugaskan untuk membangunkanku pagi ini yang masih nyaman bergelung di dalam selimut di hari yang sudah semakin siang ini.
Setelah berhasil mengumpulkan nyawa, aku langsung bangkit dari tempat tidur dan turun kebawah bertemu orang tuaku.
Semalam memang aku belum bertemu mereka karena setelah adegan Eksa yang akan mencium ku semalam, aku memilih menunggu mereka di kamar tanpa perlu turun hingga aku tertidur. Bahkan aku belum sempat mengganti pakaian ku.
Aku berbelok menuju dapur terlebih dahulu untuk meneguk segelas air karena tenggorakan ku yang terasa kering saat bangun tidur. Saat membalikan badan aku kembali dikejutkan dengan keberadaan seseorang yang sejak semalam ku hindari.
Aku sempat melirik kantong belanjaan yang dibawanya. "Lo ... masih disini?"
Belum sempat Eksa menjawab, dari belakang ibu datang dan langsung menyela.
"Iya lah ... wong yang nganter ibu ke pasar kan Eksa. Memangnya kamu jam segini baru bangun. Lihat! Baju semalem sampe ora karuan gini."
Aku memutar bola mataku sementara Eksa terlihat menahan tawanya saat aku terkena omelan. kemudian dia meletakan barang belanjaan di atas meja. "Ini barangnya aku taruh sini ya, bu."
"Oh ... iya udah gapapa taruh situ aja," sahut ibu sambil mengelap pisau yang telah di cuci. "Nanti biar Gita aja yang potong-potongin ayamnya."
Begitu namaku disebut aku langsung menyahut, "Aku mau ke ayah dulu ... tadi belum ketemu soalnya."
"Tuh kan ... kek gitu tuh, baru mau disuruh bantu masak aja udah banyak alasan." Sambar ibu dengan pisau ditangannyan seolah sedang menodong ku.
Sementara Eksa tertawa melihat drama antara ibu dan anak, aku memilih pergi meninggalkan mereka karena tidak mau berdebat lebih lanjut dan segera menemui ayah.
***
Setelah pagi ku diawali dengan bercengkrama dan makan bersama dengan ayah. Saat ini tubuh ku terasa lebih segar setelah mandi dan bersiap untuk pergi ke rumah bunda Ratna, ibu kandung Eksa, untuk mengambil kebaya. Tapi, aku dan Eksa akan menyusul karena sesuai rencana kami semalam, kalau kami akan berkunjung ke rumah bang Hamid terlebih dahulu.
"Kalian lama gak nanti?" Tanya ibu saat aku baru akan masuk ke dalam mobil Eksa.
"Em, enggak ... mungkin sejam. Soalnya kan waktu itu aku gak dateng waktu di undang ke nikahannya," jelas ku.
"Ya udah, hati-hati di jalan." Ucap ibu setelah aku menyalaminya kemudian masuk ke dalam mobil dan kami pun berangkat.
Dari rumahku ke rumah Bang Hamid seharusnya hanya memakan waktu 15 sampai 25 menit. Namun, perjalan terasa lebih lama karena diantara aku dan Eksa tidak ada yang membuka suara sama sekali sejak mobil Eksa meninggalkan pekarangan rumah. Kami berdua hanya diam dan membiarkan rasa canggung mendominasi.
Sesekali aku hanya bersuara untuk menunjukan arah mana yang harus di ambil menuju rumah bang Hamid. "... Abis lampu merah kita lurus, trus sebelum pertigaan belok kiri."
Eksa hanya meresponnya denga anggukan kepala tanda mengerti. Tapi tak lama setelah itu dia berdeham lalu membuka suara untuk memecahkan kecanggungan dianatara kami.
"Ta ... soal semalem gue ... sorry ya," ujar Eksa sambil menggosok tengkuknya.
Aku menarik nafas dan membasahi bibir ku lebih dulu sebelum menjawab. "It's oke. Kayanya semalem kita cuma terbawa suasana aja ... " aku menjeda untuk menarik nafas sebentar lalu menoleh ke arahnya. "Kalo gitu ... kita anggap kejadian semalem itu gak pernah terjadi, gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORTUNATELY
Algemene fictieDalam hidup Gita, dia tidak pernah menyangka bisa bersahabat dengan Eksa, seorang public figure, selama lebih dari 15 tahun. 'Sayangnya', dikelilingi banyak penggemar wanita dan selalu menjadi sorotan kamera membuat Gita sedikit ngeri dan muak denga...