UNFORTUNATELY -5-

153 25 11
                                    

-EKSA-

Diperjalan mengantar Gita pulang, suara hening mendominasi di dalam mobil. Tidak ada pembicaraan sama sekali diantara kami sejak mobil gue beranjak dari rumah Bang Radit. Gue juga bingung, tuh anak tumben banget diem gak secerewet biasanya.

Gue memperhatikan Gita yang sedaritadi hanya memperhatikan jalanan sekitar melalui kaca jendela disampingnya. Biasanya, ada 3 kemungkinan yang membuat Gita menjadi pendiam;

Pertama, lagi ngambek atau marah ke gue.

Kedua, ada sesuatu yang dipikirin dan gak bakal dia diceritakan kalau gak gue pancing dulu.

Ketiga, dia kelelahan.

Opsi pertama dan ketiga tidak mungkin karena tadi gue sempat tanya kedia, apakah dia merasa lelah setelah nemenin gue seharian ini lalu dia menjawab tidak dengan tersenyum. Itu juga sama sekali bukan Gita saat marah. Jadi, opsi kedua mungkin yang tepat karena samapai saat ini gue masih menerka apa yang sedang dia pikirkan. Mungkin masalah pekerjaannya.

Gue masih berusaha buat ajak dia bicara. "Ta, mau makan apa?"

Dia menoleh kearah gue sebentar dengan senyum singkat. "Langsung pulang aja, Sa."

"Tapi lo belum makan dari tadi siang. Lagi diet lo?" Tanya gue sedikit menggodanya.

"Gak lah! Mana ada gue diet," Jawabnya dengan mencebik membuat gue tertawa.

"Ya makanya lo harus makan. Take away aja deh, oke? Deal!"

Tanpa menunggu keputusannya gue langsung berbelok ke arah restoran cepat saji dan memesan makanan kesukaannya.

Gita masih tidak banyak bicara. Bahkan sampai memasuki pemukiman rumahnya dan berhenti di depan rumahnya gue masih gak tau apa yang dia pikirin.

Gita mengucapkan terima kasih lalu segera membuka pintu, tapi sebelum itu terjadi gue mencegahnya.

"Kenapa, Sa?" Tanyanya.

Gue gak langsung menjawab. Otak gue masih berkonspirasi apa ini waktu yang tepat buat nanya? Gue menggeleng. Ah! Tapi kayanya gak dulu.

"Gak papa. Nih, makanan lo ketinggalan," Ucap gue sambil menyerahkan paperbag yang tadi gue letakan di bangku belakang.

Gita terkekeh sambil menerima paper bag. "Ye kirain apaan. Btw, thank's ya."

"Iya, Jangan lupa dimakan."

"Oke"

Gue menunggu Gita benar-benar menghilang dari balik pintu, setelah itu gue menjalankan mobil untuk pulang bersama pertanyaan yang sedari tadi masih beputar diotak gue semenjak meninggalkan rumah Bang Radit.

***

"Oke, I miss you too."

Gue tersenyum setelah panggilan dari Jihan terputus. Gila! Gue bener-bener kangen sama tuh cewek. Kalian tahu lah tradisi orang jawa kalau sebelum kawin harus dipingit dulu sampai menjelang hari H. Kadang rasanya pengen banget gue langgar, tapi gak bisa. Gue harus bisa menghargai kebudayaan orang tua Jihan yang asli dari Solo.

Keluar dari room chat Jihan, gue menggulirkan layar ponsel menuju room chat seseorang yang sampai dua hari ini belum membalas pesan gue sama sekali. Bahkan, biasanya hampir setiap hari gue menerima thread-link yang sedang trending di Twitter seperti, horor, sexual harassment, skandal para artis dan lain-lain yang kemudian menjadi sebuah bahan diskusi kami hingga perdebatan tiada henti.

Gue masih gak tahu ada apa sama Gita sampai saat ini. Gue sudah coba untuk tanya ke dia tapi samapi pesan terakhir yang gue kirim dua jam lalu belum ada tanda-tanda dia telah membacanya. Sempat terpikir kalau dia sengaja menonaktifkan tanda terbacanya, tapi gue baru ingat kalau dia pernah bercerita jika dimarahi Ayah-nya karena melakukan hal itu. Jadi, itu sangat tidak mungkin.

Gue menghembuskan nafas berat, mulai lelah dengan pikiran gue sendiri. Akhirnya, gue memutuskan bangkit dari rebahan lalu mengambil kunci mobil untuk pergi menemui Gita di kantornya sebelum dia pulang dan jalan mulai macet.

Tepat pukul 5 sore dan after office hour, gue tiba di depan kantor Gita dan melihat Sabrin, teman dekat Gita di kantor, sedang menunggu jemputan di pinggir jalan.

Gue menghampirinya lalu menurunkan kaca mobil sedikit untuk memanggilnya.

"Sab!"

Sabrina nampak sedikit terkejut. "Eh, Eksa?"

"Gita udah balik, Sab?"

"Belum, masih di dalem orangnya. Tadi dia bilang lagi lembur."

Gue menghembuskan nafas lagi. Tapi, tiba-tiba gue punya ide untuk mencari informasi melalui Sabrina.

"Sab, bisa ngomong bentar gak?"

"Eh, bisa bisa. Tapi–"

"Soal Gita. Langsung masuk aja gak papa. Aman kok," Ucap gue memotong ucapannya karena gue sudah mengerti apa yang dia maksut.

Awalnya Sabrina tampak ragu tapi pada akhirnya Sabrina masuk ke dalam mobil kemudian gue menjalankan mobil dan membawanya mengitari jalan yang masih di sekitar kantor Gita.

"Sab, Gita gak cerita apa-apa ke lo?"

Sabrina yang tadinya terlihat santai, tiba-tiba sedikit menegang.

"Eh, enggak ada tuh. Dia... dari tadi keliatan sibuk banget. Jadi... ya... gue gak ngobrol banyak hari ini sama dia."

"Lo yakin?" Tanya gue untuk memastikan.

"Iyalah! Dia aja kayanya gak sempet makan siang tadi."

Gue berdecak. "Kebiasan tuh anak."

"Memangnya Gita kenapa, Sa?" Sabrina giliran bertanya.

Gue mengusap tengkuk belakang lalu menjawab. "Dia udah dua hari ini gak ada bales chat gue."

Sabrina tertawa. "Ya ampun! Kirain apaan. Bahkan chat lo pernah dianggurin sebulan lebih sama dia kalau lo lupa."

"Jangankan sebulan Sab, sehari-dua hari aja udah bikin gue gila kaya gini!"

"Oke-oke." Sabrina meredakan tawanya. Kemudian gue dibuat terbungkam oleh dua pertanyaan Sabrina yang terkesan santai.

"Tapi, lo siapanya 'dia'?"

"Bukannya lo udah ada calon istri yang bakal di nikahi beberapa hari lagi?"

***

Terima kasih sudah mampir untuk membaca. Mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan part ini terlalu pendek. Kalau ada kritik dan saran boleh langsung add comment atau dm aku ya^^

UNFORTUNATELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang