UNFORTUNATELY -13-

103 17 1
                                    

-EKSA-

Riuh ramai teriakan suara anak-anak sedang bermain bola di lapangan terdengar jelas dari pos ronda tempat gue duduk saat ini. Mengabaikan rasa kesal gue sejak Jihan belum juga mengangakat panggilan dan membalas pesan gue, akhirnya gue memilih bermalam minggu di pasar malam di area sekitar rumah Gita. Yang tadinya hanya sekedar rencana untuk menggoda perempuan itu tempo hari di rumah gue untuk membohongi temana-temannya. Daripada sudah terlanjur berbohong, lebih baik kami realisasikan sungguhan kan?

Gita awalnya bersikeras menolak dengan beralasan tidak membawa baju ganti dan harus kembali ke kostnya terlebih dahulu untuk mengambil beberapa pakaian karena ia berencana menginap di rumah orang tuanya dengan mengendarai mobil miliknya sendiri. Tapi, bukan gue kalau tidak mempunyai seribu satu cara untuk membuat perempuan itu akhirnya mengalah dan pasrah mengikuti keinginan gue. Selain tidak efesien dan jarak tempuh yang lumayan jauh, gue juga sudah menjanjikannya untuk jajan sepuasnya nanti yang kemudian mudah sekali baginya untuk meng-iya-kan.

Seperti saat ini, belum ada lima menit gue memberi dua puluh ribu rupiah untuk membeli sosis bakar, Gita sudah kembali dengan menodong gue kembali untuk membayar telur gulung seharga sepuluh ribu rupiah.

"Cepetan! Keburu diambil bocah nih telur gulung gue!"

"Sabar dong." Gue mengeluarkan semua lembar uang dari kantong celana dan mencari uang berwarna ungu tersebut. Tapi, belum selesai gue mencari, Gita sudah menarik lebih dulu selembar uang berwarna merah yang berada dipaling atas lembaran lainnya.

"Ini aja. Kelamaan lo!" Ucapnya lalu pergi meninggalkan gue dengan perasaan riang dan tanpa dosa.

Tadinya gue nyaris kesal karena malam ini gue nyaris dirampok habis-habisa olehnya, tapi melihat Gita kembali energik seperti anak-anak kecil di sekirtarnya yang ikut membeli telur gulung membuat gue tersenyum geli apalagi saat sesekali perempuan itu mengajak beberapa anak mengobrol hingga membuat mereka tertawa. Padahal kalau di ingat sepanjang perjalanan tadi dia hanya diam tak bersuara dengan ekspresi datar.

Menyapu suasana di sekitar, tempat ini selain memiliki suasana yang berbeda dengan komplek perumahan yang ditempati kedua orang tua gue dan rumah cluster yang telah gue beli dan tempati selama setahun ini, tempat ini juga memiliki kenangan tersendiri untuk gue. Mulai dari mengunjungi pasar malam untuk pertama kalinya, menikmati jajanan kaki lima yang mayoritas pembelinya anak SD, syukuran Tujuh Belasan satu kampung, nonton layar tancap dan masih banyak hal lainnya.

Semuanya masih tersimpan jelas di memori gue, bahkan tak ada sedikit pun yang terlupakan terutama saat bersama Gita. Sejak pertama kali mengenalnya, perempuan itu sudah mengenalkan gue dengn banyak hal dan belum pernah gue lakukan sebelumnya. Dia seolah bisa membuat gue merasa menjadi seorang remaja hingga pria dewasa biasa yang menikmati hidup sebagaimana mestinya dan bukan seorang artis yang namanya selalu di eluh-eluhkan dan di agung-agungkan banyak orang. Karena hanya disini, dengan Gita, gue bisa jadi diri gue sendiri. Menjdi Eksa-nya Gita.

Tiba-tiba satu hal terlintas di kepala gue dan membuat perasaan gue mendadak menjadi kaku. Setelah ini... setelah gue menikah dengan Jihan, apa gue masih bisa merasakan ini semua? Mungkin kalau gue nikah dengan Gita– Astaga! gue segera menggelengkan kepala untuk menghalau pikiran aneh tersebut dari kepala gue.

Tak lama setelah itu Gita muncul dengan wajah herannya dan tak lupa plastik berisi telur gulung yang ditentengnya.

"Napa lo?" Tanyanya.

"Gak papa, tadi hampir aja kerasukan jin cakep yang jaga pos ronda ini," jawab gue iseng.

"Heh! gak usah ngada-ngada lo, gue masih sering lewat sini nih ya!"

Gue tertawa, "Ya udah cabut, yuk! Dari pada lo digodain juga ntar sama jin disini,"

"Ngaco lo."

Kami pun beranjak dan berjalan menuju rumah Gita yang jaraknya hanya 10 rumah dari sini. Gue membawa enam plastik berisi jajan dan segelas Pop Ice yang membuat kedua tangan gue menjadi penuh. Smentara Gita, nampak santai dengan membawa clutchnya yang tersimpan diantara lengan dan sisi tubuhnya sambil menikmati telurgung di tangannya.

Dengan sedikit ke-pekaan-nya, sesekali Gita menyodorkan telur gulungnya didepan mulut gue yang kemudian gue terima dengan senang hati.

"Ta, perasaan pasarnya makin sepi penjual, ya? Gue keknya udah empat kali ini juga gak lihat Bang Hamid. Padahal gue udah lama pengan mabar," Tanya gue heran karena memang sudah lama tidak melihat Bang Hamid, salah seorang pedagang yang menyewakan Gimbot yang pernah digilai pecinta gim tahun 90-an hingga 2000 dengan harga terjangkau. Pernah beberapa kali gue melihat Bang Hamid menjajahkan dagangannya di depan salah satu SD di sekitar sini.

"Hm, Bang Hamid nikah," jawab Gita dengan singkat karena masih fokus dengan telur gulungnya.

"HAH?! serius lo ?!"

Gita mengangguk sebagai jawaban karena mulutnya masih sibuk mengunyah telur gulung.

"Sialan! Gue diduluin sama tuh orang. Tapi, lo tau dari mana kalau Bang Hamid nikah?"

"Dari ibu lah ... eh, tapi gue juga di undang sih sebenernya."

Gue mengangguk paham, lalu tangan Gita terulur kembali untuk menyodorkan telur gulung terakhirnya ke mulut gue.

"Sa, tinggal satu, nih, abisin."

Gue langsung menyambarnya. Tapi, entah mengapa telur gelung ini sedikit susah digigit dan terlalu banyak diguyur saus, sehingga membuat gue sedikit kesulitan memakannya dan memilih berhenti yang kemudian diikuti Gita untuk mempermudahnya membantu gue menghabiskan telur gulung tersebut selagi kedua tangan gue masih penuh dengan barang bawaan tadi. Bahkan sebelah tangan Gita ikut terulur dibawah dagu gue untuk menampung jika ada saus yang terjatuh.

Pada sisah gigitan terakhir, gue nyaris tersedak karena tindakan Gita yang tiba-tiba maju selangkah menepis jarak diantara kami untuk membersihakan sisah-sisah saus di bibir gue dengan jari-jari kecilnya. Sebenarnya, ini bukan kali pertama bagi kami melakukan hal seperti ini karena sebagai bentuk kepedulian. Tapi, ini pertama kali bagi gue dapat melihat wajah Gita yang sejajar dengan wajah gue tanpa perlu susah payah menundukan kepala untuk mencari matanya yang jernih meski di bawah remang lampu jalanan.

Menikmati sapuan lembut jari-jarinya di permukaan bibir gue yang membuat gue kesulitan meneguk ludah. Sementara perempuan itu sepertinya tidak menyadari hal itu karena dia hanya fokus membersihkan area sekitar bibir gue sambil mengomel panjang tanpa gue perdulikan.

Gue dapat bernafas lega dan memejamkan mata sebentar saat setelah ia akhirnya mundur beberapa langkah lalu pergi menuju tong sampah terdekat untuk membuang sampah plastik bekas telur gulung sialan tadi.

Sekembalinya Gita dari membuang sampah, jantung gue belum juga kembali berdegup dengan normal. Gue berdeham untuk meredakan dan kembali pada topik yang tadi sempat terjeda.

"Besok kita nyantron ke rumah Bang Hamid, yuk. Lo ..." gue berdeham lagi, "Lo, tau rumahnya kan?"

Sialan! Suara gue masih terdengar gugup ditelinga. Gue cuma bisa berdoa semoga Gita tidak menyadari perubahan suara gue.

"Boleh. Rumahnya gak jauhkok dari sini," Jawab perempuan itu yang nampakbiasa saja lalu menyahut Pop Ice ChocoCookies miliknya dari tangan gue dan menyeruputnyasambil melanjutkan langkah kami.

***

AAAA RARA KHILAF, akhirnya update lagi hehe...

Btw, terima kasih sudah mau   mampir untuk membaca dan memberikan bintang. Mohon maaf jika part ini garing, ada kesalahan dalam kepenulisan(tanda baca, ejaan, dll.) dan terlalu pendek. Kalau ada kritik  dan saran boleh langsung add comment atau dm aku ya^^

Tapi ini sebenernya partnya panjang, jadi Rara bagi lagi buat part berikutnya. Bisa jadi juga ntar double update xixi. Tunggu aja ya😊😊

Surabaya, 11 Januari 2022.

UNFORTUNATELYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang