-EKSA-
(16 tahun yang lalu)"Baik, Ibu akan menyebutkan nama-nama untuk pembagian kelompoknya."
Hari senin ini gue kembali bersekolah setalah beberapa hari gue izin karena jadwal gue yang sangat padat. Gue juga harus bisa menyusul ketertinggalan gue diawal tahun ajaran baru yang baru dimulai beberapa minggu yang lalu tapi semuanya terasa sangat cepat.
Gue mencoba membagi fokus untuk menulis catatan dan mendengarkan Bu Dian saat menyebut nama gue.
"Reksafa Dwi Fardansyah dan..."
Gue seketika mendongak mendengar nama gue disebut.
"Regita Alwasya," ucap Bu Dian akhirnya menyebut partner kelompok gue kali ini.
Oke, gue sama Regita. Walaupun sejujurnya gue gak tau orangnya yang mana, karena memang gue belum mengenal semua teman-teman sekelas gue. Tapi gak lama sampai akhirnya ada salah satu siswi menginterupsi Bu Dian dengan mengangkat tangannya lalu berdiri.
"Maaf Bu."
"Ya, Regita, ada apa?" Tanya Bu Dian kepada si Regita ini yang ternyata dialah orangnya yang menjadi partner kelompok gue.
"Maaf bu, saya izin ingin tukar kelompok."
Gue memperhatikan si Regita ini yang berada di sebelah kiri dan satu bangku dibelakang gue dengan alis bertaut.
Ngapain coba mau tuker kelompok? Emang ada yang salah dari gue?
"Maaf Regita, tapi biarkan ibu menyelesaikan menyebut kelompok yang lain dulu ya?" jawab Bu Dian yang membuat si Regita ini mengangguk mengerti dan kembali duduk.
Entah mungkin karena lupa, tapi sampai pada akhir penjelasan dan memberi salam, Bu Dian keluar dan tidak lagi menggubris Regita. Menyadari hal tersebut juga, gue memperhatikan si Regita ini yang akhirnya menyusul Bu Dian hingga di depan pintu.
Awalnya gue udah gak peduli dan memilih untuk melanjutkan melengkapi catatan sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Gue juga sebenernya gak masalah mau satu kelompok sama siapa aja. Toh, mereka yang pernah sekelompok dengan gue selalu mendapat dispensasi atau pengertian kalau-kalau gue ada jadwal yang dadakan atau enggak.
Tapi, gak lama Bu Dian memanggil gue dan meminta gue menemuinya di luar kelas. Saat gue udah diluar, ternyata si Regita ini masih berada di sana bersama Bu Dian.
Gue menghampiri mereka dan tersenyum. "Iya ada apa, Bu? Ibu manggil saya?"
Bu Dian ikut tersenyum dan menarik gue biar lebih dekat, lalu beliau berkata bukan kearah gue tapi ke Regita. "Reksa ini siswa yang pandai Regita, dia pernah menjuari olimpiade Sains tingkat Nasional dan Debat Bahasa Inggris tingkat Provinsi ..."
Gue masih gak paham apa yang udah mereka omongin, tapi gue melirik si Regita ini melihat gue dengan pandangan malas dan bodoh amat.
"... Jadi kamu gak perlu khawatir, ibu yakin Reksa akan banyak membantu kamu dan ibu akan memberikan dispensasi waktu untuk kalian berdua kalau memang Reksa memiliki jadwal untuk minggu depan."
"Iya bu. Tapi bukannya siswa-siswi di sekolah ini semuanya sama? Dan harus diperlakukan sama? Kalau seperti ini, seharusnya yang lain juga mendapat hak yang adil dalam pengumpulan tugas."
Tunggu. apa?!
Regita melirik ku sebentar. "Atau paling tidak, dia bisa memposisikan dirinya saat ini berada di mana. Seperti di sekolah saat ini, yang seharusnya jadi siswa pada umumnya seperti yang lain, mengerti dan memahami tanggung jawabnya sebagai siswa tanpa menyangkutpautkan kehidupan lainnya di luar sekolah."
Gue bener-bener gak paham, kenapa dia menyinggung hal itu ke gue? Ya meskipun secara gak langsung sih.
Bu Dian tampak menghembuskan nafasnya setelah mendengarkan ucapan si Regita. "Oke, ibu tau. Tapi, sebagai wali kelas, ibu ingin semuanya berbaur. Berhubung kalian menginjak kelas 7 juga baru beberapa minggu, dan pasti kalian belum cukup mengenal, jadi ini salah satu cara ibu untuk mendekatkan anak-anak ibu satu sama lain. Dan, ibu tidak akan pandang bulu. Mengerti ya Regita?"
Seolah tidak memberi kesempatan untuk menyangkal lagi, bu Dian langsung pamit sebelum benar-benar pergi meninggalkan kami. "Maaf Ibu buru-buru. Karena ada rapat setelah ini. Tolong dibantu ya Reksa."
"Iya Bu," Jawab gue dengan mengangguk tersenyum. Sedangkan Regita, dia memilih langsung masuk ke dalam kelas kembali dan mengemasi barang-barangnya.
Gue juga melakukan hal yang sama. Berhubung kelas semakin sepi karena bel telah berbunyi 5 menit yang lalu dan buku yang gue pinjam untuk gue salin tadi udah diambil pemiliknya pulang. Selain itu, gue yakin Bunda yang diantar Mang Asman, sopir pribadi gue, udah nunggu di depan sekolah.
Sebelum gue bener-bener beranjak, Regita tiba-tiba ada dihadapan gue dengan muka tidak bersahabat sama sekali.
"Lo gak usah mikirin tugasnya, gue bisa kerjain sendiri termasuk PPT-nya, lo terima beres aja. Pokoknya waktu presentasi lo harus ada."
Gue menautkan alis bingung. "Ini kan tugas kelompok. Ngapain harus ngerjain sendiri? Lagian pengumpalannya juga masi minggu depan"
"Kan gue udah bilang, lo terima beres aja asal lo ada pas waktu kita presentasi. Gue gak mau kalau sampe mengulur waktu, dan gue jadi ikutan ketinggalan materi."
Gue berdecak, baru ini ada orang yang gak mau dapet dispensasi pengumpulan tugas bareng gue. Gue merasa tertantang dengan si Regita ini.
"Oke, gak perlu lo kerjain sendiri. Sabtu besok gue free. Emm... tapi siang. Gimana?"
Regita tampak berpikir sambil menyipitkan matanya ke arah gue sebagai tanda intimidasi.
"Oke. Tapi kalau sampe lo gak bisa mendadak, gue gak keberatan kalau harus ngerjain sendiri."
Gue menghembuskan nafas dengan kasar. "Nih,kasih pin BB lo. Besok gue kabarin lagi."
***
Terima kasih sudah membaca. maaf jika masih ada kesalahan dalam penulisan karena aku menerima kritik dan sarannya^^

KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORTUNATELY
General FictionDalam hidup Gita, dia tidak pernah menyangka bisa bersahabat dengan Eksa, seorang public figure, selama lebih dari 15 tahun. 'Sayangnya', dikelilingi banyak penggemar wanita dan selalu menjadi sorotan kamera membuat Gita sedikit ngeri dan muak denga...