-EKSA-
(16 tahun yang lalu)"Jadi bener? lo sama sekali belum pernah main ketempat kek 'gini'?"
Itu menjadi pertanyaan pertama yang dilontarkan Gita untuk gue ketika kami baru tiba di pos ronda dekat penjual basreng yang menjadi pilihan untuk kami beristirahat setelah puas bermain sambil menenteng empat kantong plastik berisi empat jenis jajan serta dua minuman dengan sedotan yang memiliki tiga ujung; kanan, kiri dan tengah yang ditancapi permen kaki berwarna mereh.
Ini juga pertamakalinya bagi gue menapaki kaki di tempat bernama Pasar Malam kcil yang katanya rutin diadakan dua minggu sekali di sepanjang jalan menuju balai RW di perkampungan tengah kota tempat Gita tinggal. Tentu gue excited merasakannya.
"Di komplek rumah gue mana pernah ada ke beginian. Pak Yanto pelit!" Kesal sambil mulai membuka plastik berisi cireng.
"Siapa Pak Yanto?" Tanya Gita sambil mulai mengikuti untuk membuka salah satu plastik. Basreng menjadi pilihan pertamanya.
"Gue lupa. Tapi, kalau gak Pak RT, ya Pak RW di komplek rumah gue."
"Kenapa kok pelit?"
Gue mengedikan kedua bahu, "katanya sih gak mau komplek ntra jadi kotor dan warga jadi gak nyaman."
Gue menjeda cerita sebentar untuk mencolok satu cireng yang lalu gue makan. Gita juga masih sabar menunggu kelanjutan cerita dengan mulai membuka plastik lain berisi cilok karena cireng yang tadi telah tandas.
"Padahal dari gue kecil juga udah banyak tetangga-tetangga yang pengen ada pasar malem kek gini. Ya, seengaknya setahun sekali kek pas Tujuh Belasan gitu."
"Di sini malah bisa sampe tiga hari kalau Tujuh Belasan."
"Sumpah tiga hari?!"
"Iya. Hari pertama biasanya ada pembagian hadiah untuk lomba. Hari berikutnya, menjelang malam Tujuh Belasan ada syukuran namanya malam tirakatan sama seluruh warga setempat. Biasanya kami duduk di lapangan balai RW untuk potong tumpeng nasi kuning bersama. Hari terakhir, ada layar tancep buat nonton salah satu film perjuangan Indonesia. Di lapangan balai RW juga."
Wow, gue tercengang mendengar penjelasan panjang Gita. Karena berbeda sekali dengan kegiatan di area komplek tempat gue tinggal. Mereka hanya cukup memasang bendera merah putih dan mengecat warna merah putih di sepanjang jalan. Lomba pun hanya sebatas formalitas untuk menyenangkan hati para bocah di sana.
"Gue ikutan lomba boleh gak, sih?" Tanya gue iseng tapi juga sangsi karena gue bukan warga sini.
"Boleh kayaknya. Tapi, lo yakin masih mau ikutan lombanya?" Jawab Gita sambil mulai menyereput Pop Ice Choco Cookies miliknya.
"Emangnya kenapa?"
Gue mendengar Gita terkekeh setelah meletakan kembali minumannya. "Yaa... gak papa, sih. Cuma, anak-anak SMP seumuran kita disini udah mulai males buat ikutan."
"Lah, kenapa?"
Gita mengangkat kedua bahunya, "entah. Tapi yang jelas sekarang pesertanya kebanyakan bocah TK dan SD itupun bocah kelas 6 udah sedikit yang berpatisipasi. Jadi, kalau lo maksa ikut, pasti lebih keliatan kek lagi ngasuh bocah."
Tangan gue mendorong bahu kiri Gita hingga sedikit membuatnya terhuyung ke belakang setelah mendengar tawanya di akhir kalimat dan menirukan tingkah pengasuh bocah dipenitipan. Sialan! Bukannya marah, gadis itu malah lebih mengencangkan tawanya untuk meledek gue.
Masih dengan sisa tawanya, Gita berujar lagi, "lagian, emangnya lo gak ada jadwal sama Temu? Biasanya kan kalau menjelang ada hari besar kek gitu lagi banyak job kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORTUNATELY
General FictionDalam hidup Gita, dia tidak pernah menyangka bisa bersahabat dengan Eksa, seorang public figure, selama lebih dari 15 tahun. 'Sayangnya', dikelilingi banyak penggemar wanita dan selalu menjadi sorotan kamera membuat Gita sedikit ngeri dan muak denga...