Ganymade's Pederastic 3

27 17 0
                                    


Pemuda itu tersenyum malu, "Maaf, Yang Mulia."

"Omong-omong, kau suka dengan hadiahku?"

"Kurasa terlalu berlebihkan Yang Mulia, aku memberikan hampir semuanya pada orangtuaku di desa. Agar mereka tidak bekerja susah-susah diladang dan bisa makan enak. Aku sudah sangat kecukupan disini. Tidak ada hal yang lebih ingin aku lakukan selain bersama dengan anda, Yang Mulia."

"Ibu dan ayahmu suka dengan uang, perhiasan dan baju-bajunya?"

"Tentu saja Yang Mulia." Weithia tertawa lagi. "Ayah dan ibuku sangat berterima kasih pada anda. Tidak pernah sekalipun mereka mendapat hal seperti itu. Uang tersebut akan mereka belikan rumah baru, tanah atau mungkin membuka usaha baru di kota."

Adam mengangguk paham, "Tapi jangan berikan pedang itu pada siapapun. Itu milikmu. Karena aku tidak bisa terus bersamamu, sedangkan pedang itu bisa. Biarkanlah ia terus menemani hari-harimu, Weithia. Agar membuatnya menjadi pengingat akan diriku."

Weithia tersenyum, "Tentu saja. Aku aku rawat sebaik mungkin." Pemuda itu lalu mengeluarkan secarik kertas dari kantung celananya dan memberikannya pada Adam dengan gugup.

"Aku membuat ini Yang Mulia. Untuk anda." Suaranya terdengar gugup.

Dilihatnya sebuah tulisan berantakan dengan tinta yang membuat kertas itu sedikit kotor. Adam mulai membacanya dengan lantang.

"Aku akan menemukanmu dilangit yang membara, dimana abu menghujani pikiranmu yang lara. Aku tersesat di langit berenang di antara bintang-bintang, dengan perasaan bimbang."

"Anda bagaikan dandelion yang menari diatas angin, yang memberikan kehangatan di musim dingin. Suara anda seindah deburan ombak dipantai, senyuman anda sesejuk aliran air disungai."

"Aku menemukan anda diluasnya padang rumput nan hijau, seperti hujan yang turun dimusim kemarau."

Adam melirik kearah Sang Ksatria, memalingkan pandangan untuk menyembunyikan wajahnya yang semerah tomat masak. "Hanya segini? Atau ada kelanjutannya?"

"Saya tidak bisa memikirkannya Yang Mulia."

"Maksudmu memberikan ini padaku, agar aku bisa mengkoreksinya atau apa? Ya... menurutku ini sudah bagus. Pemilihan kata yang tepat, tampaknya kau juga sosok yang sangat memperhatikan kondisi alam. Tapi terlalu banyak kau masukkan, seperti bintang, pantai, sungai, musim. Terlalu membosankan."

Adam membenarkan posisinya dan kembali memberikan kertas itu pada Weithia yang terdiam. "Buatlah yang bahasannya lebih luas. Sedikit abstrak juga boleh." Weithia masih terdiam.

"Aku akan kembali, kau juga beristirahatlah."

Adam berpaling, melangkah pergi meninggalkan perpustakaan itu. Weithia merasa bukan itu yang seharusnya terjadi. Dia dibuat sedikit kesal karena Sang Raja salah paham. Kata-kata membosankan, seperti anak panah yang menusuk kepalanya. Yah, tidak ada yang bisa ia lakukan. Beruntung ketika Adam masih mau membacanya.

"Yang Mulia, tunggu. Maukah anda bersama saya sedikit lebih lama?" ucapnya pelan.

"Besok kita harus bekerja, kita berdua butuh tidur. Belajar lagi dengan puisimu itu, jika kau mau aku bisa memberikanmu seorang guru privat." Adam menyandarkan bahunya dipintu masuk. Menatap Weithia.

Tatapannya melemah, "Tidak perlu Tuan. Saya hanya ingin berguru dengan anda. Terima kasih sudah membacanya."

Adam kembali masuk dan mendekat kearah pemuda itu, "Kenapa? Aku tidak suka melihatmu membuat raut wajah seperti itu."

"Apakah aku membuatmu sedih? Atau kau menginginkan sesuatu? Katakan saja."

"Saya ingin anda disini lebih lama." Jawabnya pelan. Sinar bulan jatuh diantara kedua lelaki itu. Adam menurutinya dan kembali duduk disofa itu, disebelahnya Weithia duduk dengan lemah.

KNEEL BEFORE THE CROWN BOOK 1 : DREAM OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang