Last Chapter : Till Death Do Us Apart

65 13 14
                                    


Carmellia berlari disepanjang pinggiran tebing. Dengan sebuah pedang penuh darah yang ia genggam tanpa keraguan. Gaunnya sudah kotor dan usang. Robek dan sudah tidak layah dipakai ditubuh seorang putri. Gadis itu menangis dalam diam. Luka terukir diatas kulit porselennya, sakit memang. Tetapi hatinya lebih sakit lagi.

Dari pedangnya menetes darah segar.

"Kau tidak bisa membunuhku. Carmellia."

Walau pedang sudah menancap dalam pada dada wanita itu. Nafasnya masih berlanjut. Senyumnya masih mengembang. Dan tatapannya membuat Carmellia ketakutan setengah mati.

Pasih putih pantai berubah menjadi merah. Darah mengalir deras bersamaan dengan ombak pantai yang menyapunya. Tenaganya yang lebih kuat menarik pedang itu dan menancapkannya untuk kedua kali.

Kini sang wanita memuntahkan darah dari mulutnya. Tetapi masih tersenyum seperti orang gila. Carmellia bergidik.

"Mayat ayahmu akan pulang sebentar lagi. Raja Willhelmia sudah membunuhnya. Tidakkah ada dendam dan kebencian yang tercipta dihati sucimu itu? Tuan Putri, apakah ini giliranmu untuk membalaskan dendam ayahmua yang tercinta?" ucapnya dengan terbata-bata.

"Diam! Dan mati saja kau!" teriak Carmellia.

"Aku bukanlah penyebab ayahmu pergi berperang. Ia sendiri yang menginginkannya. Apakah baik jika seorang putri memiliki firasat yang kotor? Membunuh orang tak bersalah sepertiku.?"

"Kau iblis!"

Gadis itu menarik dengan kuat pedangnya. Berdiri dipinggir pantai sembari kedua telinganya dipenuhi oleh suara ombak dan burung camar. Menatap wajah wanita itu dengan kemarahan. Tubuhnya merasakan dingin dan ketakutan yang mungkin tidak akan berakhir.

Matahari mulai terbenam. Sinar jingganya menyatu dengan lautan. Ia terus berlari dan berlari. Meninggalkan wanita itu tergeletak kehabisan nyawa. Ia tidak perduli jikalau ombak membawanya pergi ketengah lautan dan menenggelamkannya kedalamnya Samudra.

Pikirannya kini dipenuhi dengan masa depan Kerajaannya yang akan ia pikul. Momen ini tidak akan pernah hilang dari ingatannya. Seperti terikat oleh waktu. Seperti lingkaran yang tak berujung. Dendam dan dosa. Cinta dan benci. Hidup dan mati.

Sesuatu tentang hidup, begitu memuakkan.

Ini bukan akhir. Carmellia tersenyum walau dirinya bergetar ketakutan. Sembari kakinya berlari diujung dunia.

"Anda dijatuhi hukuman atas perbuatan keji yang anda lalukan. Anda bertanggung jawab atas pembunuhan berencana terhadap Raja Alexander ketujuh belas dan Ratu Helena. Diatas naungan organisasi bernama Blackwood."

Ackerley menatap Sang Raja. "Keputusan ada ditangan anda Yang Mulia."

Adam duduk diatas takhtanya, begitu agung dengan sebuah mahkota emas bertaburan permata yang bertengger dikepalanya.

"Aku hanya ingin kau bicara dengan jelas dan jujur. Apa alasanmu membunuh mereka?"

Lelaki paruh baya itu menatap Adam dengan tatapan menyedihkan. Perasaannya kacau balau dan dirinya bergetar ketakutan. Pria itu masih terdiam dan Adam menghampirinya. Membungkuk agar bisa melihat wajahnya dengan jelas.

Sinar emas mentari masuk dari deretan jendela disampingnya. Menyilaukan. 

Anderson tersenyum pahit. "Kau tidak tau apa-apa tentang dunia ini, anak muda."

"Kalau begitu beritahu aku tentang dunia."

"Kau memiliki hati seperti emas. Mungkin legenda memang sudah meramalkanmu untuk bangkit. Medan perang adalah tempat bersejarah untuk seorang Raja. Lewat mata birumu yang berkilau itu, kau pasti bisa melihat masa depan atas generasi yang akan datang. Suatu saat mereka akan membaca kisah heroikmu karena telah membuat seorang Raja berlutut dibawah mahkotamu itu." Ucapnya dengan suara parau.

Adam terdiam berusaha mengerti apa yang dikatakan Anderson. Begitu yakin tidak ada keraguan pada tatapannya. Semakin ia tenggelam dalam kedua mata Anderson.

"Aku tidak bisa memberimu alasannya. Carilah sendiri. Dengan kekuatanmu yang begitu agung. Carilah apa yang ingin kau tahu."

Anderson tersenyum lebar. "Terakhir jika kau berkenan. Katakanlah pada keluargaku, jika aku mencintai mereka. Katakan maaf karena aku telah kalah dipertempuran. Aku tidak bisa melihat wajah mereka lagi. Terlalu malu karena aku berlumur dengan berdosa. Aku tidak sanggup."

Seketika mulut pria itu berbusa, kesadarannya hilang dan tubuhnya dengan keras jatuh kelantai. Adam berdiri, memperhatikan bagaimana pria itu telah membunuh dirinya sendiri. Perlahan tapi pasti nyawanya melayang pergi. Mengerang kesakitan dan akhirnya tewas dihadapan Adam. Entah racun apa lagi yang sudah bersamayam dalam mulutnya sejak awal, sengaja agar tidak ada siapapun yang bisa membunuhnya. Selain dirinya sendiri.

Diri Adam bangkit tanpa sedikitpun rasa goyah. Hanya kekuatan baru untuk mengukir masa depan. Dengan hal yang terjadi barusan, semua orang akan tahu jika Adam lah yang telah membunuh Sang Raja dari selatan. Walau hal itu sama sekali tidak ia lakukan.

Tapi bukan itu masalahnya.

Sesuatu tentang hidup. Begitu menguras jiwanya sampai keakar-akarnya.

Ia berbalik dan menatap takhtanya. Weithia muncul dan menggenggam tangannya dengan erat.

Akhir? Belum. Perjalanan masih panjang. Dan berlanjut pada esok hari dan seterusnya. Selamanya, sampai maut memisahkan mereka. 



BERSAMBUNG 

KNEEL BEFORE THE CROWN BOOK 1 : DREAM OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang