4/20

2.9K 340 146
                                    

Next chapter kalo udah 100 comments, ya! Gak banyak, kan? Mumpung otakku lagi lancar sekarang :)

Joanna membongkar isi rumah dari kayu jati yang masih kokoh. Di sana terdapat dua kamar tidur, satu kamar mandi, satu dapur dan satu ruang tamu yang terdapat dua kursi panjang beserta meja bundar dari bambu. Sama seperti dua kursi tunggu yang berada di teras rumah yang telah sedikit berdebu.

Joanna tidak menemukan banyak barang di rumah. Hanya ada koin emas beserta perhiasan, baju-baju usang miliknya dan anaknya, serta beberapa perabotan tua yang sepertinya masih layak digunakan.

"Tadi pagi Mama tidak sadarkan diri di sungai. Ada beberapa orang baik yang membawa Mama pulang, lalu memanggil Tuan. Kemudian Mama sadar dan tabib datang. Mama masih sakit? Mama kenapa seperti orang linglung saat ini?"

Joanna menggeleng pelan, saat ini dia tengah duduk di teras rumah sembari menatap beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Beberapa dari mereka juga sempat menatapnya sinis dan langsung memalingkan wajah. Seolah dia adalah penyihir jahat yang tidak boleh didekati apalagi dilihat.

"Ceritakan hidup Jeno, dari bangun pagi sampai mau tidur lagi."

Jeno yang sedang duduk di kursi bambu samping kanan Joanna tampak berpikir sejenak, lalu kembali bersuara setelah menemukan jawaban.

"Jeno bangun ketika Mama bangunkan, kita ke sungai bersama untuk mencuci pakaian dan mandi. Lalu membawa air untuk masak dan membasuh diri ketika sore hari. Setalah dari sungai, Jeno ikut Mama ke pasar. Membeli bahan masakan. Kemudian kembali ke rumah dan membantu Mama memasak. Sudah, setelah itu Jeno dan Mama di rumah saja. Mama sering bercerita tentang si kancil dan buaya. Tetapi, terkadang Tuan datang dan Jeno diminta bermain ke luar. Pintu juga dikunci dari dalam. Kata orang-orang, Mama sedang tidur dengan Tuan dan Jeno tidak boleh melihat."

Ucap Jeno dengan nada pelan. Karena dia sudah tahu jika kata 'tidur' yang dimaksud bukanlah makna yang sebenarnya. Sebab, tidur di sini adalah kegiatan yang menjurus pada hubungan badan dan saling melepas pakaian. Jeno tahu, sangat tahu. Karena telah sering mendengar hal ini ketika orang-orang dan teman-temannya menggunjing di belakang sang ibu.

Joanna menatap Jeno cukup lama. Menelisik wajahnya yang sangat rupawan. Kulitnya putih bersih, matanya abu-abu dan rambutnya lebat seperti si ayah kandung.

"Jeno tidak suka bermain? Atau, Jeno tidak ada teman di sini?"

Tanya Joanna sembari mengusap kepala Jeno pelan sekali. Berusaha mengalihkan pembicaraan saat ini. Hingga membuat si pemilik mulai menunduk dan menangis.

"Jeno tidak suka bermain. Mereka jahat. Uang Jeno yang diberi Tuan sering dirampas. Jeno juga sering dipukuli mereka dan juga---Jeno tidak suka ketika mereka mengatai Mama sebagai gundik yang menjijikkan."

Air mata Joanna ikut lolos sekarang. Dia langsung berdiri dari duduknya. Lalu jongkok di depan Jeno sekarang. Memeluk tubuhnya erat-erat syarat akan rasa sayang. Sebab, mau bagaimanapun juga---Jeno adalah anaknya. Anak kandungnya. Meskipun dia belum pernah merasakan hamil dan melahirkan sungguhan.

"Jeno, Mama tahu Jeno anak baik. Tapi---mulai sekarang, kamu tidak boleh berkecil hati. Gundik memang menjijikkan, tapi gundik bukan orang jahat. Lagi pula, hanya Mama yang menjadi gundik. Jeno tidak. Jika Mama menjijikkan, Jeno tetap suci tanpa dosa karena Jeno tidak melakukan apa-apa. Mulai sekarang, Jeno tidak boleh mengalah. Jangan berikan uang yang diberikan Tuan pada mereka. Jangan diam saja ketika diganggu mereka. Balas saja, Mama tidak akan marah. Selagi bukan kamu yang memulai pertikaian."

Joanna melepas pelukan, lalu menyeka air mata Jeno yang masih berlinang.

"Tapi, dulu---Mama yang meminta Jeno untuk diam saja, jangan melawan dan---"

CHILDFREE [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang