Chapter 13

350 36 17
                                    







Hela napas berat untuk kesekian kalinya meluncur dari bibir pucat Obito. Onyxnya redup memandang kosong ke luar jendela besar yang berada tepat di atas bangku tempatnya duduk di sebuah kedai.

Pria itu mengangkat tangannya untuk mencengkeram helaian-helaian halus itu seraya memejamkan mata, mendesah berat.

Ia sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak yakin apakah dirinya masih sanggup menerima kekecewaan lagi. Sementara mentalnya sudah terlampau letih jika harus menghadapi tekanan yang lain.

"Sumimasen, ini pesanan Anda."

Suara sopan yang terdengar kemudian segera membuyarkan lamunan Obito. Seorang gadis pelayan berambut pendek datang untuk meletakkan sebuah guci sake yang ia pesan sebelumnya di atas meja.

"Arigatou," Ucap Obito dengan suara parau.

"Aah…" Gadis itu tampak ragu-ragu selama beberapa saat, seperti ingin mengatakan sesuatu tetapi kemudian mengurungkan niatnya. Barangkali itu hanya pengaruh dari sake yang diminumnya, pikirnya. Akhirnya ia hanya mengangguk dengan sopan, sebelum berlalu dari sana sambil memeluk nampan kayunya.

Begitu gadis pelayan itu pergi, Obito berpaling pada sekelompok pengunjung di sisi lain kedai, mengingatkan Obito pada sebuah peristiwa yang menjadi awal dari segalanya.

Di sana, tepat di meja yang sama. Gelombang emosi kembali menyapu dirinya ketika ia menelengkan kepalanya, memandangi tempat di mana Rin pernah duduk bersamanya berbulan-bulan yang lalu.

Mencoba untuk tidak terlalu memikirkan hal itu, Obito lantas mengambil guci sake yang masih penuh di atas meja dan menuangkan ke dalam cawan. Kemudian menandaskannya dalam sekali teguk. Cairan beralkohol itu seakan membakar kerongkongannya. Kepalanya mulai terasa berat.

Dulu ia pernah berkata pada Rin bahwa sake hanya bisa membantumu melarikan diri dari masalah, bukan menyelesaikannya. Tetapi sekarang, bahkan sake pun tak mampu membantunya lari kemana-mana.

Kali ini Obito merasa sangat tidak berdaya.













Our Fate







Rin menghenyakkan diri pada kursi di depan meja makan, mendesahkan sebuah tawa kecil. Senyum tersungging di bibirnya yang tipis ketika ia menopang dagunya dengan sebelah tangan di atas meja.

"Kenapa kau bodoh sekali, Rin.." Lirihnya, memainkan jemarinya. Sejak pertengkaran tadi, Obito belum kunjung pulang ke rumah.



Obito tak kunjung pulang.



Sebentar lagi pasti pulang…



Menghela nafas, Rin berdiri dari meja makan dan menuju dapur. Tangannya membuka kulkas untuk mengeluarkan beberapa bahan masakan. Mungkin dengan  memasak makanan yang Obito sukai, untuk permintaan maafnya.

Aroma lezat masakan menguar di udara sementara wanita berambut coklat itu berkutat dengan peralatan makan yang baru saja diisinya dengan makanan racikannya.

Setelah menata semuanya di atas meja makan, serta meredupkan lampu untuk menambah suasana romantis, Rin memandang ke arah jam dinding di seberang dapur.

Waktu sudah menunjukkan tepat tengah malam.



Obito, kau kemana?



Kantuk yang masih membebani kedua mata Rin, ia melonjak bangun dari posisi duduknya, nyaris membuat kursi kayu yang didudukinya terjungkal ke belakang ketika menyadari apa yang terjadi. Merutuki dirinya sendiri, Rin berlari meninggalkan dapur.

"Obito?" Panggilnya seraya menggeser pintu kamarnya hingga terbuka. Tetapi kamar itu kosong. Seprai yang baru diganti masih rapi seperti sebelum Rin meninggalkannya tadi. Tidak ada tanda-tanda suaminya masuk ke sana.

Rin menghela napas berat ketika merasakan gelombang kekecewaan menerpanya. Dengan langkah berat, ia lantas kembali ke dapur.

Rin kembali duduk di meja makan, "Dari pada tidak dimakan…" wanita itu meraih mangkuk nasi yang sudah agak mengeras dan sumpit dari tatakannya. Ketika ia mengucapkan 'itadakimasu', suara yang keluar seperti tercekat di tenggorokan.

Kepalanya ia tundukkan kebawah, sambil menyendok makanan itu untuk membawa ke mulutnya.

"Hoekk!"

Kunyahan makanan itu langsung Rin muntahkan hingga sedikit mengotori meja makan.

Ekspresi Rin masih begitu tak karuan dengan menutup mulut menggunakan telapak tangan, merasakan betapa mualnya perutnya sekarang.

Setelah memberikan mulutnya, wanita itu langsung menuju kamar mandi, berniat memuntahkan cairan yang ada diperutnya. Tapi tak ada apapun yang keluar. Entah kenapa ia merasa pusing, meriang dan mual menjadi satu.

Rin keluar dari kamar mandi segera berjalan cepat menuju pintu depan saat mendengar suara ketukan yang tidak sabar dan membukanya.

Pandangan Rin segera tertuju pada Obito yang dibopong oleh Guy.
"Obito!" Rin berseru, kaget.

Hatinya mencelos tatkala mendapati Obito,  tergolek tak sadarkan diri dipelujan Guy. Rambut hitamnya tampak berantakan, terurai ke depan wajahnya. Obito tampak begitu kacau.

"Obito.." Suara Rin bergetar ketika dia menghampiri suaminya, mencoba menarik tubuhnya dari pelukan Guy.

"Aku tidak sengaja bertemu dengannya."

Kepala Obito langsung terkulai lemas di lekukan lehernya. Selembut yang dapat dilakukan oleh tangannya yang gemetar, Rin menyeka rambut yang menutupi wajah Obito, menyelipkannya di belakang telinganya.

Kedua matanya terpejam, meski demikian Rin dapat melihat lingkar hitam di sekelilingnya, juga sisa-sisa air mata. Rin merasa seolah dadanya dicengkeram kuat, membuatnya sulit bernapas.

"Obito, buka matamu…" Bisiknya dengan suara tercekat. Memohon, seraya menepuk-nepuk lembut pipi Obito yang terasa lembab oleh campuran antara keringat dan air mata.

"Apa yang terjadi?" Lirih Rin, seraya mengawasi Guy yang masih berusaha membangunkan Obito dengan sorot mata cemas. "Aku kurang tahu, Rin. Yang jelas saat aku bertemu dengannya, Obito terlihat lunglai. Dia mabuk."

"Kami-sama.." Rin melirih, merasa amat bersalah. "Guy, terimakasih.."

Guy menggeleng, tangannya meraih tubuh Obito dipelukan Rin. Rin terlihat kewalahan menggendong tubuh berat suaminya, "Mau aku bantu menggendongnya?" Tanya Guy.

Rin menggeleng, "Tidak. Terimakasih. Sekali lagi, terimakasih.."

Setelah kepergian Guy, tanpa buang waktu, Rin melingkarkan lengan Obito yang lemas ke sekeliling bahunya, untuk masuk kedalam kamar.

Sampai akhirnya Rin membaringkan tubuh besar itu di ranjang, wajah Obito mulai gelisah. Wajahnya mengernyit seperti orang yang sedang menahan sakit.

"Rin…" Obito merancau, "Jangan tinggalkan aku, aku mencintaimu.."

Rin dapat merasakannya kepedihan yang dirasakan pria itu. Rin tak pernah melihat Obito seemosional yang dilihatnya saat itu. Perasaan Obito terhadapnya pastilah sudah sangat mendalam.

Pertahanan diri Rin akhirnya runtuh. Bulir bening luruh dari sudut mata coklatnya

"Maafkan aku," Ucap Rin. "Maafkan aku… Maaf—" Ketika kata-kata sudah tak sanggup lagi terucap, Rin membenamkan wajahnya di helaian rambut hitam pria itu.

_________


Vote comment and share

Our Fate { Obito X Rin }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang