Dua Puluh Lima - Ramai

140 44 0
                                    

"Kenapa kamu nggak pulang bareng Ola, Sayang."" Tanya bunda Rara kepada putranya.

"Kasian kan dia itu baru di sini, kalo nanti nyasar gimana?"

"Bun.. Ola udah gede, dia bukan anak kecil umur 5 tahun lagi. Dia punya mulut buat tanya ke orang, dia punya hp buat liat google maps." Danis berusaha sabar menghadapi bundanya yang selalu membela Viola.

"Tapi dia teman kecil kamu, dia rela pindah ke sini buat ketemu kamu." Ucap Rara masih dengan penuh kesabaran.

"Dia yang buat Danis nggak punya temen waktu kecil, Danis nggak pernah anggep Ola temen Danis. Dan seinget Danis, Danis nggak pernah punya temen." Ucap Danis serius, dengan amarah yang masih dapat dikontrolnya.

"Danis ke kamar dulu, Bun." Danis segera beranjak ke kamarnya sebelum amarahnya benar-benar memuncak dan membentak bundanya.

Rara menghela napasnya melihat perubahan terhadap putramya semenjak kedatangan Viola.

Anak semata wayangnya selalu menuruti permintaan dari dirinya dan ayahnya.

Saat dia diperintah harus mengubur cita-citanya menjadi penulis, dia melakukannya tanpa mengelak.

Di saat dia diberi tugas kelak akan melanjutkan perusahaan ayahnya, diterimanya tanpa bantahan.

Apakah dia bahagia?

Apa justru dia tertekan?

Semua dipendamnya sendiri, biar sekarang dia yang menentukan masa remajanya sendiri.

Pikiran Rara melayang ke mana-mana mengkhawatirkan putranya.

"Sayang makan dulu yuk." Rara berdiri di depan pintu Danis.

"Nanti aja nunggu ayah, Bun." Danis menjawab lirih dari dalam sana.

"Ayah pulang telat nanti, makan sama bunda dulu yuk." Rara terus membujuk Danis yang belum makan sejak pulang sekolah tadi.

"Maaf, Danis belum laper, bunda duluan aja." Danis sekali lagi menolak sehalus mungkin.

"Ya udah.. tapi nanti harus makan, jangan tidur dulu ya."

Danis mengangguk dari balik pintu yang disandarkannya. Tentu saja anggukannya tidak akan terlihat oleh bundanya.

Terdengar langkah kaki meninggalkan kamarnya.

Kepalanya terus menunduk sambil bersandar pada pintu kamarnya.

Pikirannya terngiang tentang keluarga kecilnya yang sangat rapuh seperti porselen jika tidak dijaga dengan benar.

Keluarganya memang baik-baik saja, tapi Danis pikir sudah menjadi tanggungjawabnya mematuhi semua perintah ayah dan bundanya.

Lelah.

Danis lelah. Tapi dia masih kuat bertahan sedikit lagi.

Ini bukan dunianya, tapi dunia ayahnya.

Ayahnya yang selalu mengaturnya harus kemana.

Apakah dia tidak punya sedikit hak untuk menolak?

Mungkin dia punya, tapi dia tidak sanggup menolak perintah dari kedua orang tua yang telah merawatnya hingga sebesar ini.

🍃🍃🍃

"Akhirnya tiga hari kelar juga nih tugas." Darel melepas keluh dengan lega.

"Emang lo pantes ngomong gitu?" Sinis Valerie.

"Tau lo kutu! Lo ngga ngapa-ngapain selain ngabisin cemilan di rumah Valerie." Diki mencibir Darel yang sekarang sudah memeluk sekaleng kripik kentang.

Alur Terbaik [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang