¹⁹• 𝐷𝑎𝑠𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑎𝑛𝑢

2.9K 498 111
                                    





-Happy reading 🍁
-sorry for typo(s)



🍑

Ruangan dengan dominasi warna abu-abu dan putih, adalah ruangan favoritnya disebuah tempat yang orang-orang sebut rumah. Dibanding dapur yang banyak makanan atau tempat-tempat indah lain diluar sana, menurutnya ruang kamarnya adalah tempat dimana dia bisa lebih jujur pada dirinya sendiri, mungkin makhluk hidup yang ikut menumpang hidup di kamarnya bisa dijadikan saksi jika dia meraung tanpa alasan, dan mereka bisa kalian tanya jika tiba-tiba pemilik ruangan hilang dari bumi, ya jika bisa sabar saja menunggu jawabannya

Pintu kamar didorong agar terbuka, sang pemilik kamar yang masuk, dengan hanya memakai kaos dan celana pendek rumahan saja di udara dingin malam ini, ada jejak embun air di tangannya, rambut poninya juga terlihat sedikit basah

Brukk

Kasur empuk kamarnya lah yang beberapa jam yang lalu dia dambakan, mengingat sepulang sekolah sampai detik ini, baru sekarang dia bisa tidur nyaman di kasur favoritnya. Terbiasa dengan pekerjaan rumah sejak kecil, tak membuat putra bungsu Sagara terbiasa, walau hanya mencuci piring atau membersihkan lantai rumah, itu cukup membuat lelah tubuhnya

Sore tadi, sepulang Aban menjenguk Ikbal. Di ruang keluarga, ada Papa yang mencegahnya pergi beristirahat di kamar, padahal otaknya sudah lelah karena hampir seharian belajar, ditambah dia juga harus menyalin catatan untuk Ikbal siang tadi

"Kenapa, Pah?" Tanyanya lesu

Menyesap kopi hitamnya, Bagas hanya melirik bungsunya sekilas, membenarkan posisi duduknya sebelum kini sepenuhnya menatap sang putra, "kamu kan seharian ga ngapa-ngapain, gih bantu Papa selesaikan tugas rumah. Mama lagi ada urusan, kemungkinan ga bisa pulang malam ini, Masmu kan pulang, belum makan dia" katanya, enteng sekali bilang seharian tidak melakukan apa-apa cih

"Terus, Papa mau Aban ngapain?"

"Beresin dapur dulu gih, cucian kotornya belum di cuci. Abis itu kamu masak bisa kan? nah selesai masak bisa bantuin Papa nyapu sama ngepel rumah. Gampang kan, kamu kan gendut pasti gitu aja ga bakal cape"

Aban menunduk, memerhatikan tubuhnya sendiri, mungkin saran dari Ikbal tempo hari perlu ia coba. Memakai baju senam ibu-ibu agar bentuk badannya tercetak jelas, supaya sang Papa bisa melihat dengan jelas, jika sang putra tidak gendut sama sekali

"Tapi Aban cape banget Pah, di sekolah banyak tugas tadi, Aban juga baru pulang jenguk Ikbal. Mas Lucas aja yang bantuin Papa hari ini ya, Papa kan bisa delivery buat makan, Aban juga belum makan sama sekali dari siang"

Aban memundurkan langkahnya gugup saat sang Papa menatapnya tajam, "mau jadi apa kamu kalo masih muda aja males-malesan, Papa waktu kecil ga kaya kamu tuh, disuruh kerja malah alasan cape, di dunia ini apasi yang ga cape. Kalo diturutin cape terus, yang ada kamu malah jadi orang males, laki-laki itu tulang punggung keluarga, harus rajin. Kamu baru disuruh beresin rumah udah ngeluh, cepetan ah sana, Papa laper"

"Iya, Pah"

Dengan lesu dan sedikit kesal di hati, Aban melangkah ke dapur, membuka baju dan celana seragamnya terlebih dahulu sebelum memulai menjadi babu keluarga. Setiap hari, Aban memang selalu menggunakan baju dan celana pendek dibalik baju seragamnya

Dengan hati-hati, Aban mencuci satu persatu piring dan gelas kotor di wastafel. Aban berani bersumpah, kalo sekalipun Aban tak pernah melihat kakaknya diperlakukan seperti ini, hanya Aban yang diperlakukan seperti pembantu di rumah ini, padahal jelas-jelas statusnya di tulis sebagai ANAK KANDUNG di kartu keluarga

[8] Parenting || 𝙽𝚌𝚝⁰⁰Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang