˚ · . [ ARENA ]
✧ ˚ · .
┊ ┊
˚ ༘♡ ⋆。˚ ꕥ
Seperti ranting pohon yang mudah patah saat diterjang badai, kau sama lemah nya seperti itu. Tapi, kau juga seperti badai yang menghancurkan pertahanan ter...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ATHENA POV
Percaya bahwa perasaan ku pada Armin adalah sekadar rasa suka karena ia peduli dan menolongku, merupakan keputusan telak yang aku ambil untuk saat ini. Semakin aku berusaha keras menjauhinya, semakin mengikis pula jarak yang membentang. Ruang kesendirian yang nyaman bagiku kini terasa hampa, seperti membutuhkan seseorang untuk mengisinya.
Menyadari jika perasaan ku pada Colt sejak dulu hanyalah sebatas kekaguman, setidaknya membuatku merasa sedikit tenang dan mengurangi beban perasaanku. Laki laki itu pasti tengah mencari cara untuk membuatku berada di genggaman nya lagi.
Kaki ku terus melangkah melewati barisan orang orang di koridor sekolah yang tengah asik dengan aktivitas mereka masing masing. Setelah dua hari memutuskan untuk beristirahat dirumah, aku kembali merasakan tenaga yang besar dalam tubuhku.
Langkahku terhenti. Menatap ke arah jendela yang menyuguhkan langit mendung yang akan menurunkan hujan. Menyentuh kusen berdebu, lalu bersandar padanya.
"Apa yang sedang kau lamunkan, Athena?"
Seorang laki laki berwajah tegas menginterupsi ku. Memecah lamunan yang terjadi beberapa detik lalu. Ia turut bersandar di kusen, menghadap kearah ku.
"Aku sedang berusaha mencari ketenangan."
"Ketenangan seperti apa yang ingin kau cari di tempat seramai ini?" manik mata nya menatap kearah yang sama. Pada langit kelabu yang telah menurunkan rintik hujan.
"Entahlah, sudah lama aku tak melihat pemandangan seperti ini ... langsung dari jendela, diantara orang orang berjiwa hampa."
Jean terkekeh kecil. Aku menatap lamat kekehan kecil yang keluar dari mulut laki laki yang memutuskan untuk menemani ku.
"Jika kau melihat ke sekitar mu, kau akan melihat berbagai ekspresi di wajah mereka. Kau hanya tak menyadari dan mengetahui apa yang sedang mereka rasakan."
"Aku hanya melihat tawa yang terpatri diwajah mereka. Itu membuatku muak."
Jean tersenyum kecil. Jemarinya menyentuh ujung bibirku, menariknya berusaha membentuk sebuah senyuman. "Bibir ini, sudah lupa caranya tersenyum. Kau lemah dalam berekspresi. Orang orang ini, lebih pandai berekspresi darimu."
Aku menepis tangan nya. Melihat pantulan wajahku di kaca jendela. Benar. Aku jarang tersenyum. Bukan karena lupa cara tersenyum. Aku hanya tak pandai menyembunyikan duka yang ada dalam hati.
"Tepatnya, mereka pandai membohongi diri sendiri. Tertawa meski sedang terluka. Tersenyum meski menangis dalam hati."
"Kau sebenarnya peduli pada orang lain. Kau saja yang tak mau mengakui."
"Kau salah, sampai kapan pun, aku hanya peduli pada diriku sendiri."
"Membuatku menyatakan perasaan pada Mikasa, membela yang lemah dengan melukai dirimu sendiri, mengutamakan perasaan orang lain demi kebahagiaan mereka, membuat dirimu sendiri kerepotan dengan membantu orang orang yang sebenarnya mampu melakukan tugas mereka sendiri. Apa kau masih akan menyangkal ku?"
Aku mendengus. Berbicara dengan nya memang membuat perasaan ku tenang. Tapi, jika aku terus berada dekat dengan nya, itu akan menimbulkan salah paham mengenai perasaan nya padaku.
"Sepertinya aku harus mencari tempat lain untuk mendamaikan diri," sautku sekenanya, mengabaikan ucapan yang sempat masuk dengan sopan ke telinga ku. Ku tepuk bahu lebarnya, lalu melangkah menjauhinya.
"Kedamaian datang dari dalam dirimu. Jangan mencarinya, Athena."
"Kau tak cocok mengatakan itu, Jean!"
Laki laki itu terkekeh. Telingaku mendengarnya dengan jelas. Jika saja aku bisa menggerakkan perasaan ku dan memaksa untuk menyukainya, mungkin akan aku lakukan dengan senang hati. Sayangnya, kini benak ku saja telah dipenuhi oleh wajah Armin. Entah kapan wajah itu akan segera menghilang dari benak ku. Aku jadi ingin menukar ingatanku dengan milik Hange untuk sementara waktu.
Aku menunduk sebentar, menatap sepatuku yang beradu. Salah satu talinya terlepas. Aku berjongkok seraya membenahinya, mengaitkan tali talinya yang terlepas, mengikat nya menjadi bentuk one handed.
Kepalaku mendongak, tak sengaja melihat kilatan cahaya dari arah kelas kosong tempat Leo membawaku waktu itu. Aku mengernyit, apa yang terjadi di dalam sana? Meski tujuan ku bukanlah masuk kesana, perasaan penasaran ku tetap muncul. Memaksa kaki ku melangkah mendekati ruangan minim cahaya itu.
Pintu sedikit terbuka, menandakan seseorang baru masuk ke dalam sana. Aku menyelinap, menyembulkan kepalaku dibalik pintu, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Aku menyipitkan kedua mata, mencoba mengenali siluet yang terpantul di dinding.
Netra hazel ku membola, mendapati dua orang yang sedang bercumbu di dalam sana. Mulutku menganga, menatap nanar membiarkan tubuhku turut bergetar. Tautan bibir yang sempat aku rasakan, bibir yang sempat memberiku kehangatan. Entah harus ku sebut apa pemandangan di depan ku ini.
"Ar...min." panggilan itu akhirnya lolos dari bibirku yang bergetar. Menahan sesak yang teramat dalam.
Gadis pirang yang bersama nya tersenyum miring. Memutus tautan panas diantara dirinya dan laki laki yang pergerakan nya telah terkunci sepenuhnya oleh dirinya.
Netra biru laut Armin membelalak, mendapati diriku yang berdiri mematung di hadapan nya. Ia melepas cengkraman Annie, berlari menghampiriku. "A-Athena, apa yang kau lihat tadi adalah salah paham!"
Aku menggeleng. Tatapan ku tetap nanar, sekujur tubuh bergetar. "Apa yang kau lakukan ... Armin?"
"Athena, kau salah--"
Aku melangkah mundur. Menjauhi figur mungil di hadapan ku. "Jangan--mendekati ku." Netra kelam ku memanas, air mata yang membanjiri pelupuk seakan pertanda bahwa sakit di dalam hati ku tak dapat di tahan lagi.
"Athena, dengarkan aku." Tangan Armin terulur, berniat menghentikan ku. Namun, sekali lagi kaki ku tergerak sendiri menjauhinya.
"Jangan menyentuh ku."
"Kau terkejut ... Athena?" tanya gadis pirang yang sangat sangat aku benci. Bibir mungil itu, telah merenggut kehangatan Armin dariku. Tangan ku seperti ingin segera merobek nya. "Atau kau merasa sesak?" ralat Annie, bersemrik angkuh.
"Menjijikan. Sangat--menjijikan." ucapku, berusaha menahan amarah yang tengah membakar habis perasaan ku.
"Sudah lama kita tidak berbicara. Aku harap kau baik baik saja."
"Tch, kau mengucapkan hal yang berbeda dengan isi hati mu."
Annie terkekeh. "Kau memang sangat mengenal ku, Athena."
"Aku tak pernah mengenal mu. Aku tak pernah tahu apa yang kau pikirkan. Aku hanya menilai mu. Licik dan menjijikan."
"Oh ayolah! apa kau akan terus menjauhi ku? kau bisa berteman dengan ku lagi kalau kau mau."
Aku tersenyum miring. Pelupuk ku masih tetap dibanjiri air mata. Rasanya ingin memukul dadaku sendiri hingga rasa sesak nya menghilang.
"Aku tidak akan pernah berteman dengan anak seorang pembunuh seperti mu."
Sepasang figur di depan ku tertegun. Armin yang mendengar kalimat menusuk seperti itu kaget bukan main. Apapun itu, aku tak akan peduli jika laki laki itu mendengar semua rahasia yang selama ini ku simpan dengan apik di sudut relung.
"Lancang sekali kau!"
PLAKK
Tangan gadis itu berhasil mendaratkan sebuah tamparan keras yang awalnya ingin diberikan untuk ku. Sayangnya, Armin malah menggantikan posisiku, membiarkan Annie menampar wajah nya yang kini berubah menjadi merah.
"Jika kau mencoba melukainya, aku akan membeberkan semua rahasia mu." ucap Armin dingin. Terdengar sangat menohok bagi gadis yang telah menampar pipi nya.