5. Ngambek mode on

5.2K 214 0
                                    

Ana yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut melihat Evan yang sedang duduk di pinggir ranjangnya.

"Om Evan ngapain disini?" tanyanya pada Evan sambil menggenggam erat handuknya.

Pipinya terasa panas. Bagaimana tidak, untuk kedua kalinya Evan melihat Ana hanya dengan balutan handuk yang jelas tidak dapat menutupi seluruh tubuhnya.

Evan yang semula fokus memeriksa pekerjaannya melalui ponsel kini menatap Ana dengan intens. Dilihatnya tubuh Ana dari ujung kaki sampai ujung kepala.

Glek

Evan meneguk ludahnya kasar, melihat penampilan Ana yang hanya terbalut handuk yang bahkan hanya menutupi dada sampai setengah pahanya membuat Evan benar-benar tergoda.

"Shit, dia menegang," umpat Evan dalam hati. Demi Tuhan dia laki-laki normal yang juga membutuhkan kepuasan.

Evan mengalihkan pandangannya kearah lain tidak ingin berlama-lama menatap Ana, karena jika itu terjadi mungkin dia takkan bisa mengendalikan dirinya lagi.

Ekhem...

Eevan berdehem pelan dan menghela nafas dalam mencoba menghilangkan gairah yang masih menggebu dalam dirinya.

"Memangnya kenapa? Aku suamimu. Bukankah sudah seharusnya kita berada dalam satu kamar yang sama?"

Ana terkejut bukan main dengan perkataan Evan, dirinya dilanda gugup luar biasa. Apakah lelaki itu akan meminta haknya sekarang? Apakah Evan akan memintanya untuk melayani pria itu sekarang? Tuhan... Ana benar-benar belum siap.

Evan menarik sudut bibirnya melihat ekspresi isterinya yang gugup dan ketakutan. Evan berjalan mendekati Ana dan menghimpit tubuhnya dengan dinding.

Evan menatap Ana dalam yang membuat Ana tubuh Ana semakin gemetar. Tangannya menaikan dagu gadis yang kini pucat pasi dan mendekatkan wajahnya pada Ana hingga hidungnya bersentuhan dengan hidung gadis itu.

Evan memiringkan kepalanya dan mendekatkan bibirnya dengan bibir Ana hingga hanya tersisa beberapa inci saja. "Saya tidak akan menyentuh kamu malam ini, tapi bukan berarti saya tidak akan memintanya. Jadi sebaiknya kamu persiapkan diri kamu mulai dari sekarang." Setelah mengatakan itu Evan masuk ke kamar mandi meninggalkan Ana yang terpaku karena Evan hampir saja membuat detak jantungnya berhenti.

Ana menghirup nafasnya beberapa kali mencoba menormalkan kerja jantungnya lagi. Ditatapnya tajam pintu kamar mandi yang tertutup rapat. "Dasar Om-Om ngeselin."

Evan dan Ana berbaring di atas kasur dengan posisi saling memunggungi. Ana yang gugup dan Evan yang berusaha mati-matian menahan gairahnya.

"Besok kita akan pindah ke apartemenku," ucap Evan serak.

Ana membalikkan tubuhnya menghadap Evan. "Tidak, Aku mau di sini saja. Kalau Om mau pindah ke apartemen pindah sendiri aja."

Evan ikut membalikan tubuhnya menghadap Ana mendengar penolakan Ana. Bagaimana bisa gadis yang baru saja menjadi istrinya ini meminta dia pindah sendiri ke apartemen tanpa membawanya. Lalu untuk apa pernikahan ini?

Akh ... Evan lupa kalau ini hanya karena wasiat sahabatnya.

"Ini perintah, bukan permintaan. Jadi jangan menolak karena aku tidak meminta persetujuan," ucap Evan tegas menatap tajam Ana.

"Terserah, tapi aku tetap di sini." Ana masih kekeh dengan penolakannya membuat Evan menggeram kesal.

"Kamu mau menjadi istri durhaka karena nggak nurut perintah suami?" Ana membalikan tubuhnya lagi memunggungi Evan.

Apa-apaan dia, baru beberapa jam menikah sudah bersikap otoriter. Ana kesal kenapa Evan selalu saja memaksa dan yang lebih kesalnya lagi kenapa dia tak pernah bisa melawan suaminya. Huh, menyebalkan.

***

Saat ini Ana dan Evan sudah sampai di apartemen milik Evan. Evan membukakan pintu mobil untuk Ana dan menggandeng tangannya, namun gadis itu melepaskan genggaman tangan Evan karena merasa risih saat beberapa orang memerhatikannya termasuk seorang resepsionist gedung apartrment ini.

Tak kehabisan akal Evanpun kembali meraih tangan Ana dan menggenggamnya erat lalu membawanya masuk ke lif.

Setelah sampai di unitnya barulah Evan melepaskan tangan Ana. Evan menekan beberapa digit angka yang menjadi pasword apartemennya.

"Nah, ini apartemenku. Ayok, masuk!" ucap Evan setelah membuka pintu

"Di mana kamarnya?" tanya Ana tak menghiraukan ucapan Evan.

"Di sana," jawab Evan sambil menunjuk sebuah pintu berwarna coklat.

Ana langsung saja berjalan menuju kamar yang ditunjuk Evan tanpa memperdulikan lelaki itu lagi. Ana masih kesal pada suaminya sejak semalam karena mengambil keputusan secara sepihak dan sekarang Evan semakin membuatnya kesal dengan terus menggandeng tangannya.

***

Makan malam berlangsung hening, hanya suara denting  sendok dan garpu yang terdengar sampai suara Evan memecahkan keheningan diantara mereka,

"Kamu masih ngambek gara-gara saya memaksa untuk pindah ke apartemen?" tanya Evan pada Ana.

"Sudah tahu nanya," jawab Ana ketus.

Evan menghela nafasnya mendengar jawaban ketus Ana, dia harus banyak bersabar menghadapi Ana karena walau bagaimanapun usia Ana masih sangat muda untuk mengemban peran sebagai istri.

"Kalau kita tetap tinggal di rumah kamu, saya harus memutar arah kalau mau ke kantor sedangkan kalau disini jarak kantor dan apartemen dekat hanya kurang lebih sepuluh menit. Lagi pula sekolah kamu juga dekat dari sini jadi apa salahnya?" Evan mencoba menjelaskan dengan selembut mungkin pada Ana.

Ana mendongak menatap suaminya, dia sedikit merasa bersalah dengan sifat keras kepalanya, tidak seharusnya dia marah pada sang suami hanya karena Evan mengajaknya pindah ke apartemen lelaki itu.

Ana ingin meminta maaf pada Evan tapi egonya terlalu tinggi, akhirnya gadis itu memilih diam dan melanjutkan makannya dengan khusyu.

Setelah menyelesaikan makan malamnya, Evan masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia bingung, bagaimana caranya agar hubungannya dengan Ana kembali mencair seperti dulu sebelum mereka menikah dan saat Adam masih hidup.

Dia mencintai Ana, sangat mencintainya. tapi dia juga bingung bagaimana caranya bersikap pada Ana tanpa perlu merasa takut Ana mengetahui perasaannya.

Evan tidak ingin terburu-buru mengungkapkan perasaanya pada Ana, dia takut gadis itu justru akan merasa takut kepadanya atau bahkan lebih parahnya Ana bisa saja membencinya dan menganggapnya seorang pedofil.

"Huft ... Adaam ... apa yang harus kulakukan?" lirihnya sambil menghembuskan nafasnya dalam dan memejamkan matanya.

My Old Husband RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang