TIGA PULUH SATU

407 54 13
                                    


"Kamu sudah harus berada di Mount Elizabeth secepatnya! Kak Naren akan segera mengatur semuanya dan dia sendiri yang akan menjadi doktermu selama masa pengobatan disana. Astaga Zha, aku sampai dimarahi habis - habisan oleh kakak kandungku sendiri gara - gara kamu!" Nathania berdecak sebal sambil menyerahkan satu gelas cammomile tea kepada Zhanita. Satu malam sebelumnya, sahabatnya itu baru saja landing di Jakarta dan mereka berdua memutuskan untuk bertemu di rumah sakit tempatnya praktek siang ini.

Sebenarnya, rumah sakit tempat dimana Nathania bekerja saat ini adalah milik keluarga besar Zahir, yang dimana ayah kandung Nathania, Bapak Aditya Zahir memiliki jabatan sebagai direktur utama disana. Berbeda dengan sang adik, Narendra Pragia Zahir yang merupakan anak pertama di keluarganya, memilih berdomisili di Singapura dan bekerja sebagai dokter spesialis onkologi medis di salah satu rumah sakit terbaik yang ada di Negeri Singa tersebut. Singkat cerita, keluarga besar Zahir dan keluarga besar Adiyaksa yang merupakan keluarga dari Zhanita Lizandra adalah dua keluarga yang sudah berteman lama. Hubungan itu sudah lama terjalin jauh dari sejak kakek dan nenek buyut mereka. Maka tak heran, jika anak - anak ataupun keturunan kedua keluarga tersebut pun akan saling mengenal dan menjadi sahabat terdekat mengikuti jejak para pendahulunya.

"Relax, Natha. Kak Naren kan memang seperti itu dari dulu," respon Zhanita dengan santai. Sedangkan Nathania hanya memutar kedua bola matanya.

"Justru karena dia seperti itu, Zha. Aku dibilang teman yang nggak peka-lah, nggak peduli-lah, teman yang hanya bisa diam saja dan menikmati penderitaan seorang Zhanita Lizandra sendirian-lah!" Nathania mendengus kesal dan mulai berkacak pinggang di hadapan sahabatnya, namun sikapnya tersebut hanya direspon oleh sebuah seringaian.

"Demi Tuhan ya, Zha. Aku sampai berfikir, sebenarnya adik kak Naren itu aku atau kamu, sih?" gerutu Nathania yang pada akhirnya bergabung untuk duduk di sofa bersama sahabatnya. Kali ini Zhanita hanya bisa tertawa kecil mendengarkan celotehan sahabatnya tersebut.

"Narendra Pragia Zahir masih se-posesive dulu ternyata," bathin Zhanita.

"So.....aku boleh tahu kenapa tiba - tiba kamu ingin melakukan pengobatan ini sekarang? Setelah beberapa bulan yang lalu aku harus mengemis darah supaya kamu mau melakukannya?" tanya Nathania dengan tatapan menuntut. Terang saja, dia masih tidak terima saat dulu sahabatnya tiba - tiba memberikan hasil CT Scan dan MRI saat mereka bertemu rutin setiap minggu di sebuah cafe yang dulu menjadi tempat favorit bagi mereka berdua. Bahkan, saat memberikan informasi tersebut Zhanita tidak menampakkan kesedihan sedikit pun. Sahabatnya itu hanya terlihat pasrah ketika menjelaskan tentang diagnosa penyakit barunya.

"Hmm.... could I say it's all because of them?" Zhanita mulai menyeruput sedikit chamomile tea yang sedari tadi dipegangnya. "Meskipun aku terlambat menyadari semuanya, nyatanya aku tidak ingin kehilangan mereka dan ingin sekali lagi berjuang untuk bisa hidup lebih lama, demi mereka," ucapnya dengan tenang.

"Jadi, kamu sudah cerita mengenai masalah ini sama Gara dan Kendrick-mu?" Nathania mulai membuka pembicaraan ke arah yang serius. Zhanita langsung menoleh, kemudian menggeleng.

"Astaga, Zha! Ini masalah serius! Dan kamu mau sampai kapan terus merahasiakannya pada mereka?" Nathania terdengar histeris mendapati respon dari sahabatnya. Dia tidak habis pikir, rencana apalagi yang sedang disusun oleh seseorang yang telah dikenalnya dengan sebutan "Si Kepala Batu" tersebut.

"Aku nggak bisa bilang dan nggak mau bilang juga. As I told you, mereka juga sama - sama rapuh sepertiku." Pandangan Zhanita mulai menerawang ke langit - langit ruangan saat mulai menyandarkan bagian punggungnya ke bagian dalam sofa.

"Selama ini aku selalu mencoba untuk menjadi sandaran terkuat bagi mereka. Lalu, apa jadinya jika mereka tahu satu - satunya sandaran yang sangat mereka andalkan tidak akan lagi mampu menjadi peyangga mereka berdua nantinya?" tutur Zhanita kembali. Kedua mata hitam legamnya mulai berkabut, genangan air mata yang tertahan di sudut matanya akan segera jatuh dalam satu kali kerjapan. Nathania yang mulai menyadari semua itu pun langsung menggenggam salah satu tangan sahabatnya.

SOUL HEALER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang