TIGA PULUH TIGA

719 70 21
                                    

Siang itu, langit terlihat kelam. Sinar mentari seolah enggan untuk menampakkan diri. Memilih terus bersembunyi di antara awan - awan yang terus bergerak terbawa angin. Dengan kecepatan langkah yang dibayangi oleh sang anak, Garavian menuju sebuah acara pemakaman yang masih dikerumuni oleh sejumlah orang dengan warna pakaian serba hitam. Isak tangis terdengar semakin jelas saat tubuh tegapnya sudah sampai di jajaran depan. Tanah kemerahan yang sedikit basah mendeskripsikan bahwa tempat peristirahatan terakhir itu baru saja digali hari ini. Taburan berbagai jenis kelopak bunga sudah turut menghiasi tempat berbentuk persegi panjang tersebut.

Keraguan dan ketidakpercayaan yang sempat menaungi benak pria itu akhirnya diperkuat oleh sebuah bukti konkrit. Dia memandang batu nisan yang bertuliskan nama "Zhanita Lizandra Adiyaksa". Jantungnya semakin berdetak kencang, deru nafasnya kian memburu, rasa sesak di bagian dadanya mulai meretas hebat hingga ke ulu hati.

Di depan pusara itu, raungan tangisnya pun mulai terpecah dengan hebatnya. Kumpulan orang yang hadir semenjak tadi tak menjadi halangan rasa malu untuk mencegah dirinya dalam mengekspresikan rasa kehilangan yang begitu dalam. Tubuh kekarnya mulai ambruk. Kedua tangannya mencakar kuat segumpalan tanah yang sudah tercampur kembang kubur.

Bukankah wanita itu seharusnya kembali dengan utuh ke pangkuannya sambil menyunggingkan sebuah senyuman manis di saat pertemuan mereka? Dan bukankah wanita itu pun sudah berjanji saat kepulangannya nanti dia akan melakukan sumpah suci bersamanya dalam sebuah ikatan pernikahan? Lalu, apa yang sebenarnya sudah terjadi? Rahasia besar apa yang telah dia sembunyikan sampai akhirnya maut pun secara tiba - tiba harus memisahkan mereka berdua tanpa adanya titik terang sedikit pun.

Tak jauh dari keberadaan Garavian, sosok kecil itu tak henti - hentinya mengusap deraian air mata yang terus menyelinap keluar. Kedua maniknya mulai membengkak dan sangat memerah. Tidak ada satu pun suara yang keluar. Pita suaranya seakan tercekat untuk hanya sekedar mengeluarkan bunyi isak tangis saja. Sebuah kepalan kuat dari salah satu tangannya terus memukuli bagian dada. Emosi dan rasa sesak merebak pesat ke seluruh anggota tubuhnya, namun tak sanggup untuk dikeluarkan.

Sepasang suami istri paruh baya memandangi sosok ayah dan anak tersebut. Mereka berdua adalah manusia lainnya yang memiliki ikatan darah yang kuat dan sama - sama merasa terpukul atas kehilangan seseorang yang berharga bagi kehidupan mereka. Tragedi enam tahun lalu yang telah menyulut api permusuhan dan menciptakan sebuah jarak seakan terkikis dengan kabar buruk yang mereka terima beberapa jam sebelumnya. Pada hari itu, anak pertama yang telah mereka buang telah pergi jauh dan tidak akan pernah kembali lagi.

"Kak, mau tidak mau kita harus melepaskan kak Zhanita pergi."

Sebuah suara menginterupsi Garavian saat tubuh lemahnya sedang tersender di bagian batu nisan. Dia hanya menoleh sebentar, lalu pandangannya kembali beralih pada pusara baru itu.

"Kamu yakin jenazah yang ada di dalam kuburan ini adalah kakakmu?" tanya Garavian seakan masih tidak mempercayai kenyataan yang ada. Zalika yang sedang menyentuh area pundaknya pun mulai beringsut. Deraian air mata di kedua pipi wanita itu mengalir kembali.

"Kak Gara. Aku tahu pasti ini sangat berat, tapi......."

"Kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal?" Nada suara Garavian terdengar lemah namun semburat amarah terekam jelas di kedua sorot matanya.

"Sumpah demi Tuhan, aku tidak pernah tahu mengenai hal ini. Kak Zhanita tidak pernah terbuka lagi semenjak tiga tahun yang lalu," jawab Zalika penuh frustasi. Dia sangat menyayangkan perlakuan Garavian yang seolah telah menuduhnya untuk menutupi segala hal yang berhubungan dengan kakak kandungnya tersebut. Karena faktanya, sebagai seorang adik dia pun merasa sangat terpukul dan menderita atas kematian sang kakak yang hanya meninggalkan sejumlah pertanyaan.

SOUL HEALER [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang