P R O L O G U E

508 45 11
                                    

Dia tidak lupa ingatan.

Dia tahu siapa dirinya.

Namanya Adelia Rena, umurnya 28 tahun dan bekerja sebagai Agent bayaran Amerika. Sebatang kara tanpa keluarga ataupun sanak saudara, ia lantas menghabiskan masa kecil dipanti asuhan lusuh dan kumuh tanpa pernah mengetahui siapa orangtua-nya.

Rena hampir tidak memiliki ketakutan. Bertahun-tahun hidup sebagai Agent membuatnya ditempa memiliki fisik dan mental kuat hingga mampu menghadapi apapun tanpa rasa takut sama sekali.

Bahkan ketika menyelesaikan misi penyelamatan di Gaza, Palestina, ketika usianya 21 tahun, berjibaku dengan selongsong tembakan dan hujan peluru untuk menyelamatkan belasan anak sandera prajurit Israel, Rena tak merasa gentar atau sekedar gemetar.

Kematian adalah konsekuensi dari pekerjaanya. Rena tak punya cukup waktu untuk merasa takut ketika tembakan dan suara peluru membanjiri tempatnya bersembunyi bersama belasan anak yang baru ia bebaskan. Bahkan jika Rena mati sewaktu-waktu, itu tidak akan menimbulkan penyesalan yang berarti. Rena dengan yakin mengatakan ia tak takut pada pada kematian.

Tapi beda cerita kalau Rena tiba-tiba terbangun ditempat asing, mendapati dirinya berada diruangan serba putih yang kental dengan bau obat. Ia bisa merasakan seluruh tubuhnya kebas sekaligus mati rasa. Ada jarum infus ditangan kirinya, lalu alat bantu napas yang menempel dihidungnya.

Rena melihat Dokter dan beberapa perawat tampak mondar-mandir memeriksa keadaannya, dengan wajah berkeringat dingin sambil menggumamkan kata 'Mustahil' berkali-kali seolah ia baru bangkit dari kematian.

Lalu setelah semua pemeriksaan selesai, datanglah seorang lelaki jangkung dengan tangis haru dan ucapan syukur pada Tuhan.

Tak cukup sampai disana. Datang juga seorang wanita paruh baya yang ikut menangis bahagia. Rena dipeluk, dikecup, dan dibacakan beberapa doa yang tidak ia mengerti artinya.

"Syukur Alhamdulillah. Non Runa sudah siuman." Katanya disela isak tangis. "Mbok lega, Non."

Rena menatap wanita itu tanpa ekpsresi.

Dia masih dalam fase kebingungan yang belum selesai.

Jika dirinya terluka saat menjalankan misi, lalu bangun difasilitas kesehatan yang disediakan markasnya, atau jika ia mendapati dirinya dirawat ditenda medis untuk penanganan pertama Agent yang terluka, Rena masih menganggapnya normal.

Tapi ini lain.

Bukan difasilitas markas, basecamp perawatan atau tenda medis untuk penanganan pertama. Rena sudah mengamati ruangan tempatnya dirawat, ruangan luas dengan warna putih yang dominan, lalu alat-alat kesehatan dan interiornya, Ini lebih mirip Rumah Sakit atau sejenisnya.

Ini salah.

Lebih tepatnya, ini aneh.

Sepanjang karirnya menjadi Agent bayaran, bukan sekali atau dua kali Rena terluka. Ia sudah menjadi Agent lebih dari 15 tahun. Dan selama itu pula, ketika Rena siuman akibat terluka pada misi yang ia jalankan, tak sekalipun ada orang yang menyambutnya dengan tangis haru bercampur kebahagiaan seperti ini. Paling mentok hanya rekan sesama Agent yang mengatakan 'selamat' karena Rena tidak mati.

Hanya itu.

Tapi kenapa kali ini berbeda?

Rena melirik sekilas pada wanita itu. Ia mendengus pelan karena tangannya yang digenggam erat mulai memerah. Dan kenapa wanita ini tak mau berhenti menangis?

Oke, Rena mulai takut sekarang.

Tidak berlebihan kan kalau Rena memulai sesi paranoid dadakan?

Suara pintu yang dibuka mengalihkan atensi Rena. Dari sana, masuk seorang Dokter muda diikuti beberapa perawat wanita disamping kanan-kirinya. Mereka berjejer rapi, berbaris mengelilingi ranjang Rena.

D E R U N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang