Chaptēr 19 - Deja Vu.

225 30 2
                                    

Dari awal cerita ini memang dirancang banyak narasi dan minim dialog. Aku juga sadar kalau alurnya lumayan berat. Untuk beberapa orang, mungkin emang cukup membosankan, jadi aku personally minta maaf kalau nggak sesuai ekspektasi kalian.

But I'll do my best for this one.

So, hope you enjoyed guys

-

"Nggak mungkin dia orangnya!"

Erine mengerang Frustasi. Abigael selalu gembar-gembor kalau dirinya lebih tua dari Erine. Selalu menyuruh Erine menghormati dan memperlakukan pria itu sebagai 'senior'.

Tapi lihatlah kelakuannya. Ini belum genap jam 07.00 pagi dan Abigael sudah membuat keributan dihari sabtu yang setengah cerah ini.

"Can you just shut Fu*k up!" Erine berteriak marah akhirnya. "For a minute!"

"Dia yang harusnya kamu suruh diam!"

"Bisa santai gak sih?" Zendaya mendelik tidak terima saat wajahnya ditunjuk-tunjuk oleh Abigael.

Rian benar-benar keterlaluan.

Bagaimana bisa abangnya itu memborong orang-orang tidak waras ini kerumah?

Setelah kejadian tempo hari, wanita bernama Emma jadi sering mengunjungi rumahnya. Emma punya urusan dengan Rian. Semacam urusan kerja. Meski awalnya Zendaya kurang nyaman dengan kehadiran Emma, Zendaya memilih mengacuhkan saja.

Hal yang membuatnya terganggu adalah, ketika beberapa hari lalu Emma datang bersama tiga orang lainnya. Itu bisa diterima jika mereka hanya datang 'berkunjung', tapi Zendaya mulai curiga karena mereka datang sambil membawa koper.

Dan kecurigaan Zendaya terbukti saat orang-orang itu tidak pergi walau hari sudah berganti malam.

"Emma pasti salah orang. Kita sudah mendekam disini selama berhari-hari tapi Polisi itu belum juga menemukan apapun. Ini tidak berguna!"

Erine berdecak kasar. "Bersabarlah. Nggak ada yang instan didunia ini."

Zendaya meringis melihat seberapa lihai-nya Erine mengasah sebilah belati dengan ukiran mawar berduri digagangnya.

Terkadang Zendaya lupa jika orang-orang berkepribadian buruk ini adalah sekelompok Agent bayaran profesional.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu?"

Zendaya mengalihkan pandangannya dari Erine. "Gue cuma...bukan apa-apa."

"Jangan teralihkan sama bentuknya. Walaupun cantik, ini sudah mengakhiri hidup banyak orang." Sahut Erine setelahnya.

Zendaya merinding. Ia sedikit confused apakah Erine sedang membicarakan belati itu atau dirinya sendiri. Orang-orang ini selalu membuatnya waspada dan cemas. Sulit dipercaya Rian bisa mengenal mereka. Lebih sulit dipercaya lagi sekarang mereka tinggal dirumahnya.

Zendaya rasanya rindu saat-saat ia menikmati hari libur sekolah dengan rebahan seharian. Sendirian. Tanpa dipusingkan dengan ocehan dan keluhan Abigael, atau suara bilah besi belati yang diasah.

"Lagian kenapa harus seorang Polisi?"

Nah, kan. Abigael mulai lagi.

"Kenapa sih kita minta bantuannya? Emma pasti sudah gila karena berpikir seperti itu. Harusnya kita menghindari aparat Polisi sepertinya, Siapa namanya? Rina? Rea? Rika?"

"Rian." Koreksi Erine.

"Terserah," Abigael menyugar kasar rambutnya. "Intinya aku benar-benar tidak suka dengan Polisi itu. Dan lebih tidak suka lagi dengan rumahnya. Kenapa juga kita harus tinggal dirumah yang sangat panas dan kecil ini?"

D E R U N A [ HIATUS ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang