Mendengar cerita dari Hazby dan Rima, mereka semua sedikit terkejut apalagi dengan Dimas menatap keduanya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sorry Dim, gue tahu lo ngelarang kita buat pacaran tapi gue nggak bisa bohong kalau gue sayang sama adek lo." Keadaan menjadi sedikit hening, Dimas dan Hazby menatap satu sama lain.
Hal yang Dimas takutkan untuk saat ini adalah bagaimana kalau mereka berdua putus ? Mana yang akan Dimas hibur terlebih dulu nantinya, jika mereka berdua bertengkar, Dimas berada di kubu siapa ?
Dimas tersenyum, "nanti semisal lo nggak bisa jagain dia, balikin dia ke gua."
" Nggak akan, gue mau jaga dia selamanya."
Marchel menahan tawa kecilnya ketika mendengar kalimat itu. Agak menggelikan memang mendengar kalimat tersebut keluar dari mulut seorang pengusaha seperti Hazby.
Tiba hari disaat mereka harus pulang. Dengan berat hati mereka harus berpamitan dengan keluarga Arum.
"Sayang banget kalian harus pulang hari ini, padahal masih banyak tempat wisata yang mau gue tunjukkin ke kalian," ujar Arum yang sambil menepuk pundak Marchel yang ada di sampingnya.
"Iya aku juga sayang kamu kok." Marchel mengusap lembut puncak rambut Arum.
Sedangkan Arum tubuhnya membeku, baru kali ini Marchel menyentuhnya. Kalau seperti ini bagaimana bisa Arum berhenti untuk menyukai Marchel ?
"Libur tahun depan nanti kita kesini lagi kok," ujar Marchel lalu di setujui oleh yang lain kecuali Hazby dengan wajah malasnya menatap Arum.
Singkat cerita mereka sudah sampai di kediaman rumah Hazby. Disana mereka menghabiskan waktu bersama orang tua Hazby.
"Akhirnya rumah ini nggak sunyi lagi, sering sering ya kalian main di sini." Mama hazby sangat sangat senang hari ini. Tawanya kembali muncul saat berinteraksi dengan mereka, khusunya dengan Marchel. Sedari tadi cuma Marchel lah yang dipuji tampan olehnya.
Sedangkan disisi lain, Arum mengurung diri dikamar. Bukan karena sedih ataupun depresi, dia hanya bingung dengan perasaanya saat ini. Semenjak Marchel menepuk puncak rambutnya, ia terus saja memikirkan Marchel. Disaat saat seperti ini, Arum selalu menelpon sahabatnya untuk meminta pendapat. Pergilah ia kerumah Adela. Gadis yang pernah dikenalkan ke teman teman Marchel.
"Del !" Arum menggedor pintu kaca rumah Adela dengan terburu buru.
Adela yang tadinya melipat baju dengan tenang, terkejut dengan suara gedoran yang keras.
"Sabar rum sabar," Adela membukakan pintu dan melihat Arum yang seketika diam.
"Rum ?"
"Del, lo sendirian ?"
"Iya kenapa ?"
Arum memutuskan untuk membawa Adela keluar dari rumahnya. Tepat dibelakang Adela tadi sosok perempuan dengan tatapan menyedihkan berdiri disana.
Adela mendengarkan curhatan Arum dengan sesekali menyesap es teh manisnya.
"Kebiasaan sih lo, apa apa gampang baper. Udah tahu Marchel friendly anaknya," ujarnya setelah menoyor kepala Arum.
"Ya gimana lagi, Marchel ganteng." Jawabnya
Dimalam hari yang cukup larut, Stephani menenteng kantong plastik berisi minuman, ia berjalan menyusuri jalan yang cukup sepi. Melihat pacarnya tertidur tadi ia tak tega untuk membangunkannya hanya untuk mengantarnya membeli minuman.
Dari kejauhan Stephani melihat dua orang pria, yang satu berdiri memegang miras dan satunya lagi duduk dengan rokok ditangannya. Tanpa rasa takut sedikit pun, Stephani terus berjalan.
"Sendirian aja neng," ujar pria dengan miras mendekati Stephani.
Stephani berhenti lalu maju selangkah lebih dekat dengan pria itu.
"Saya nggak sendirian bang," Stephani mengusap mata kiri pria itu menggunakan jempol kanannya.
"Gimana bang, saya nggak sendirian, kan ?" Cowok tersebut takut bukan kepalang. Dua sosok hantu berada di samping cewek itu dengan wajah yang sangat sangat menyeramkan. Satu dengan taring dan darah di sekujur tubuhnya dan yang satu tinggi dengan mata yang amat merah menyala. Sedangkan teman yang satunya ikut lari tanpa mengetahui apa penyebabnya.
Disisi lain, Arum terus memperhatikan layar handphonenya setelah ia mengirim pesan kepada Marchel yang berisi,
'Sudah sampai mana, Chel ?'
Yang belum terbaca oleh Marchel. Hanya centang satu abu abu yang berarti Marchel sedang offline.
Namun tiba tiba saja centang tersebut menjadi dua, Arum membelalakkan matanya sambil menggigit jari yang terbalut selimut.
Centang biru.
Arum panik. Arum keluar dari aplikasi tersebut lalu membalikkan handphonenya. Ia menenggelamkan kepalanya diantara selimut yang membungkus badannya.
Ting !
Bunyi notifikasi dari handphone Arum. Sedangkan Arum sendiri menggigit jari, masih takut untuk membuka pesannya.
Setelah menarik napas, Arum membuka pesannya dari Marchel.
'Udah rum'
Benar, hanya dua kata itu yang Arum baca. Tidak sesuai ekspektasi memang. Wajah Arum yang tadinya ceria berubah menjadi biasa saja. Ia lalu membalas pesan itu dengan jawaban
'oh okey, sehat sehat ya, lo disana.'
Yang langsung dibaca oleh Marchel namun tidak ada jawaban.
Keesokan harinya di rumah Hazby sedang sibuk sibuknya untuk mempersiapkan acara pengajian untuk memperingati hari kepergian Balqis. Seluruh bagian rumah dibersihkan tak terkecuali kamar Balqis.
Setiap dua bulan sekali mama Hazby selalu membersihkan kamar Balqis, namun hari ini ada yang beda. Mama Hazby akan mengganti gorden dan juga seprei ranjang. Dengan dibantu oleh Stephani, mereka berdua mengerjakannya sambil bergurau ria. Mereka sudah ikhlas melepaskan kepergian Balqis untuk selama lamanya. Sebagai gantinya, mama Hazby merawat dengan baik barang barang Balqis.
"Tante tahu nggak sih, Marchel pernah suka sama Balqis tapi Marchelnya takut ngungkapinnya," ujar Stephani sambil mengganti sarung bantal.
"Oh ya ? Balqis juga pernah cerita dia suka sama Marchel," jawab mama Hazby dengan membantu Stephani yang sedang kesulitan memasangkan sarung bantal.
"Apa ? Dia cerita ke tante ? Kok dia nggak pernah cerita apa apa sih ke aku. Jahat banget lo, qis !"
Disisi lain, seorang gadis yang terjebak di dimensi lain yang dirinya sendiripun tidak tahu tempat apa itu.
Tempat yang minim cahaya, lembab dan juga kerikil kerikil kecil yang terus menusuk kakinya setiap kali gadis itu melangkah.
"Apa ? Dia cerita ke tante ? Kok dia nggak pernah cerita apa apa sih ke aku"
Dengungan suara itu tiba tiba saja memenuhi kepalanya. Suara itu mirip dengan seseorang yang sangat ia kenal.
"Stephani ?" Napasnya memburu, pikirannya kacau. Ya suara itu mirip Stephani, tapi dimana ?
Gadis tersebut berlarian kesana kemari menghiraukan rasa sakit yang menyerang kakinya dikarenakan kerikil kecil yang tajam hanya untuk mencari sumber suara yang hanya sekali ia dengarkan.
Tangisnya mulai pecah saat dia tidak bisa menemukan kembali suara itu. Beberapa kali ia memukul kepalanya sendiri hanya untuk mendengarkan suara itu lagi.
"Tolong..., Keluarin gue...," Dia tersungkur dengan telapak kaki yang terus mengeluarkan darah.
Yey update

KAMU SEDANG MEMBACA
PETAKA
HorrorSeperti Dejavu, kejadian 4 tahun lalu kembali terulang dan menghantui Marchel dan yang lainnya. Cerita 4 tahun yang lalu ternyata belum selesai, para iblis terus terusan menganggu mereka seakan menuntut balik apa yang mereka renggut. Stephani hanya...