Chapter 15: Tentang Club 27

166 13 2
                                    

     Setelah turun dari bandara, Marchel memesan taksi untuk pergi kerumah sakit menjenguk Rima. Tentu saja dengan Arum yang kewalahan menyamakan jalannnya dengan Marchel yang tergesa gesa berjalan menuju mobil taksi yang sudah terparkir.

"Kita mau nginep dimana ?" Tanya Arum saat mereka berdua sudah berada di dalam taksi.

"Gue biasa nginep di rumah Dimas. Kalo Lo nggak nyaman Lo bisa tidur di hotel deket sini."

     Perjalanan terasa hening. Langit biru berpadu dengan panasnya matahari yang terpantul dari kendaraan satu ke lainnya membuat mata Marchel memicingkan sebelah matanya saat cahaya itu masuk. Pikirannya kini kacau balau. Ia sama sekali tak bisa berpikir jernih. Marchel sangat takut kejadian 4 tahun lalu yang merenggut orang yang sangat ia sukai itu pergi.

"Lo nggak penasaran gitu soal gue tahu Balqis ?" Pertanyaan itu menyadarkan Marchel.

"Nanti aja, gue juga tahu Lo spesial."

     Mobil taksi berhenti tepat di depan rumah sakit indah harapan tempat di mana Rima di rawat. Marchel menurunkan kopernya dari bagasi lalu bergegas masuk kedalam tanpa menghiraukan Arum yang kesulitan menurunkan kopernya yang berukuran besar sampai harus dibantu oleh supir taksi.

"Lagi marahan ya mbak sama pacarnya?" Tanya supir tersebut setelah membantu Arum.

"Bukan pacar saya, Pak." Arum menenteng tas selempangnya lalu mengambil alih kopernya yang masih digenggaman supir taksi.

"Tapi calon pacar," ujarnya dengan senyuman lalu bergegas mengejar Marchel.

     Marchel tak bisa berkata apa apa setelah melihat keadaan Rima yang sangat membuat hatinya ter iris. Kenapa harus lewat Rima. Gadis polos itu tak ada kaitannya dengan semua hal yang terjadi di masa lalu.

"Kak?"

     Marchel menundukkan kepalanya saat air matanya hampir jatuh. Rasa bersalah mulai menjalari hatinya. Rima yang ia anggap adik sendiri kini terbaring dengan perban di kedua lengannya.

"Maafin gue, Rim. Lo nggak seharunya jadi kayak gini.., maafin gue. Gue nggak bisa jaga Lo dari mahluk jahat itu. Maafin gue..," Marchel menangis dengan menggenggam telapak tangan Rima yang tak tertutup perban.

"Ini nggak salah kak Marchel. Rima nggak pa-pa kok kayak gini. Udah ya jangan nangis, malu tuh di liatin kak Arum." Entah apa yang ia perbuat sampai membuat seorang Marchel menangis.

     Arum yang namanya disebut mengulum senyum ke arah Rima lalu melangkah masuk. Sedari tadi ia mendengar semua perkataan yang keluar dari mulut Marchel. Arum sendiri tak habis pikir, seistimewa apa sih Rima sampai di tangis Marchel, apalagi sampai tersedu sedu.

     Reno menggigit jari kelingkingnya  dengan napas yang memburu, Reno mulai gusar dan takut sesuatu yang buruk akan terjadi padanya setelah ia mengatakan segalanya. Disisi lain dirinya juga tak punya pilihan lain, ini adalah satu satunya jalan agar perusahaannya tetap berjalan walaupun harus dirinya sendiri yang akan menjadi tumbal berikutnya.

     Sedangkan disisi lain, Hazby dan yang lainnya berkumpul di ruang tamu rumah Dimas tak lupa dengan Marchel dan juga Arum. Ternyata kedatangan Arum tak disambut baik oleh Dimas.

"Chel, gue mau bicara sama lo" Marchel beranjak dari tempat duduknya di ikuti degan tatapan teman temannya yang mungkin sudah tahu apa yang ingi dibicarkan oleh Dimas.

"Kenapa lo bawa dia kesini?" Dimas menatap tajam mata Marchel

"Lo nggak inget apa yang dia lakuin ke adek gue?" Marchel mulai bisa merasakan amarah yang ada dalam diri Dimas.

"Dia kan udah bilang kalau dia nggak sengaja-"

"Nggak sengaja gimana? Lo buta atau gimana sih! Jelas jelas dia sengaja nabrakin batu ke Rima. dia itu suka sama lo, Chel dan dia cemburu ngeliat lo deket banget sama Rima dan lo masih nggak sadar?"

PETAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang