5 || Cemburu?

53 5 1
                                    

Bahkan, siang tidak pernah marah pada matahari yang menenggelamkan dirinya demi malam

****

Alangka memasuki rumah dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Geon yang saat itu sedang mengambil air di dapur tidak sengaja berpapasan dengan Alangka yang saat itu wajahnya terlihat sembab.

Geon mencekal tangan Alangka yang akan naik ke atas tangga, "Lo kenapa, Ka?" Geon terlihat khawatir dengan keadaan Alangka saat ini.

Alangka menyeka air matanya yang terus mengalir, "Aku nggak apa-apa kok, kak," suara Alangka terdengar gemetar.

Geon menyerahkan air mineral yang ia pegang untuk Alangka, "Minum dulu," Alangka menerima botol air mineral lalu meneguknya sedikit.

"Udah lega?" Geon kembali bersuara untuk memastikan bahwa Alangka memang baik-baik saja.

"Makasih, Kak," ujar Alangka tulus.

Geon mengelus pundak Alangka pelan, "Jangan terlalu dipikirin omongan yang lo terima dari Gala, dia emang kayak gitu." ucap Geon pelan.

"Aku nggak marah sama Kak Gala."

"Terus, kenapa nangis?"

"Aku marah dengan diri aku sendiri."

Geon terpaku mendengar kalimat Alangka. Bagaimana perempuan itu bisa menyalahkan dirinya sendiri setelah Gala melukainya.

"Ka, udah jelas - je___"

"Kak Geon, aku nyesel udah buat Kak Gala marah. Harusnya aku nggak mengiyakan saat Erlangga bilang mau mampir kesini, itu kesalahan aku. Aku nangis juga karena aku, bukan Kak Gala." jelas Alangka yang semakin membuat Geon tidak percaya.

"Gue nggak tau harus ngomong apa." Geon kehabisan kata-kata akan Alangka.

"Aku ke kamar dulu ya, Kak. Jangan bilang Kak Gala kalo aku nangis." setelah mengucapkan sebuah kalimat yang semakin membuat Geon menggeleng tak percaya Alangka benar-benar pergi ke dalam kamarnya.

Geon kembali ke ruang tamu dengan tatapan tajam yang ia tujukan untuk Gala. Gala yang tengah menyadari itu pun langsung bingung di buatnya.

"Kenapa lo?"

"Lo yang kenapa?"

"Maksud lo?"

"Lo cemburu sama Alangka?"

Gala tersenyum sinis kepada Geon, dia benar-benar tidak percaya dengan kalimat yang terlontar dari sahabatnya itu, "Sumpah gue makin nggak ngerti sama ucapan lo!"

"Kalo gitu gue tanya sekali lagi, lo cemburu sama Alangka?"

"Ngapain gue cemburu sama dia, nggak guna tau nggak lo!"

"Terus kenapa lo marah saat temen cowok dia kesini?"

"Gue nggak suka aja ada cowok lain kerumah gue!" Gala semakin mengelak.

"Alasan!"

"Udah-udah! ini kenapa sih hawanya jadi panas gini," lerai Olan yang saat itu masih menikmati kacang di depannya.

"Berarti yang dingin adam," sahut Catka tak berdosa.

"Sumpah nggak ada nyambungnya CATKA!" ujar Abe geram.

"Ya maap gue emang gini!" dengan lirikan tak suka yang Catka tujukan pada Abe.

Abe mendorong bahu Catka pelan, "Baperan heran!"

Ketika itu Abe tiba-tiba berdiri, "Baiklah saudara semua, sepertinya saya harus pamit terlebih dahulu, di karenakan dana janda sedang menunggu." Abe berucap santai sehingga membuat teman-temanya ikut tertawa mendengarnya.

"Ya allah kenapa teman saya berbeda!" ucap Catka dengan menadahkan tangan seakan sedang berdoa.

Abe merangkul pundak Catka, "Tapi, kalo gue traktir lo maju paling depan kan?"

Catka melepas rangkulan Abe kasar, "Pliss jangan rayu gue, udah pasti itu!"

Semua orang yang berada disana tertawa akan tingkah Catka dan Abe. Setelah itu bukan hanya Abe saja yang pulang, ketiga temannya pun menyusul untuk pulang satu persatu.

Alangka yang tidak mendengar lagi suara lima sekawan bercanda menyadari bahwa mereka semua telah pulang. Dia mencoba untuk membuka pintunya pelan-pelan dan menuju ke depan pintu kamar Gala. Tangannya mencoba untuk mengetuk pintu di depannya beberapa kali.

"Kak, aku boleh masuk?"

Tidak ada jawaban yang Alangka terima. Sampai pada saat dia akan mengetuk kembali pintu di depannya tanpa ia duga Gala bersuara untuk menjawabnya.

"Hm." dua huruf yang mampu membuat Alangka tersenyum.

Dia membuka pintu kamar Gala perlahan, disana dia mendapati Gala sedang berada di depan laptopnya. Entah apa yang sedang cowok itu lakukan.

"Maafin aku, Kak,"

"Nggak penting!"

Mata Alangka sempat menyusuri kamar milik Gala, sehingga dia menemukan dua buket bunga disana.

"Mau ke laut?"

Gala mengerti akan kalimat yang Alangka tanyakan.

"Bukan urusan lo!"

Tanpa Gala duga Alangka memberanikan diri untuk duduk di sisi ranjang Gala.

"Laut itu indah ya, Kak. Mereka tenang, damai serta membuat nyaman," Alangka berucap dengan menatap Gala yang sama sekali tidak melihat ke arahnya.

"Tapi kadang mereka terlalu jahat, mengambil tanpa mengembalikan." sambung Alangka lirih.

"Kakak pernah nggak marah sama laut?" Alangka tetap bersuara walau Gala tidak menanggapinya sedari tadi. "Kalo aku pernah, sangat marah sampai aku nggak mau ketemu laut lagi. Tapi aku sadar, sadar bahwa aku terlalu egois. Ibaratnya aku menjadikan kaki tersangka saat tersandung, padahal kaki adalah korban yang dituduh oleh mulut akibat kesalahan mata yang tidak hati-hati."

Alangka menghembuskan nafas dalam, "Maaf, Kak. Aku terlalu banyak bicara. Tapi aku seneng karena kakak dengerin aku." akhirnya Alangka pergi dari kamar Gala.

Tanpa dia sadari ada sepasang mata di ruangan itu yang sedari tadi terus mengeluarkan butiran bening. Air matanya terus mengalir tanpa suara. Tangannya menggepal dengan erat, seperti ada emosi yang berusaha ia keluarkan disana. Entah apa yang salah dari kalimat Alangka barusan, tapi yang Gala rasakan dadanya terasa sesak dan perih.

"Lo nggak tau apa yang gue rasain!" lirih Gala pelan.

____

Vren! jangan lupa untuk Vote dan Komen ya.

Oiya, supaya lebih akrab gimana kalo kalian Call me "Nana" no "Author" kalo kalian berkenan sih.

Yaudah, sampai ketemu di part selanjutnya.
Sengaja part ini di buat pendek.

See you.









ALANGKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang