19. Tembok Penghalang

43 15 0
                                    

Quen segera dibawa masuk oleh pria itu ke dalam mobil. Siapa orangnya? Masih belum diketahui.

Melesat di bawah kecepatan kilat, namun di atas batas normal. Sosok itu membawa Quen dengan perasaan resah yang sudah menjalar memenuhi seluruh pikiran.

Sesampainya di rumah, ia segera membawa Quen ke dalam dan mendudukkannya di sebuah sofa.

"Pa! Tolong, ambilkan selimut tebal!"

Awei terkejut saat sang anak membawa masuk seorang wanita dalam keadaan basah kuyup. Mata sayu, bibir pucat, badan bergetar hebat akibat dari rasa dingin yang ditimbulkan dari hujan.

"Kenapa dengan Quen? Dia terlihat kacau sekali," tanya Awei sembari menyerahkan selimut yang diminta oleh Eder.

"Aku tidak tahu, Pa. Aku bertemu Quen di jalan. Padahal aku tadi sedang berbicara dengan dia melalui sambungan telepon. Namun, tiba-tiba terputus begitu saja. Aku tidak tahu ada apa, dan kini aku menemukannya di pinggir jalan dalam keadaan hujan-hujanan," jelas Eder.

Quen meraih selimut itu, dan menyelimuti tubuhnya yang sudah sangat basah. Ia masih diam tanpa ingin menjelaskan apapun kepada Eder.

"Quen, apa kamu ingin mengganti baju? Sangat basah, kamu bisa sakit. Bagaimana kalau kamu pakai bajuku saja?" Eder memperhatikan Quen mulai dari atas hingga ke bawah.

"Sebaiknya kamu ganti baju, Quen. Benar kata Eder, nanti kamu bisa sakit. Kamu bisa memakai baju Eder. Tidak apa." Awei menyetujui saran Eder.

Quen menatap Awei dan mengangguk setuju. Eder segera membawa Quen masuk ke dalam kamarnya dan memberikan sepotong baju kaos dan celana training untuk Quen.

"Aku tunggu di bawah. Setelah ganti pakaian. Kamu turunlah."

Eder segera menutup pintu kamarnya dan turun ke bawah menunggu Quen selesai berganti pakaian.

Awei yang melihat Quen turun, segera  menyuruh Eder untuk membuat secangkir teh hangat.

"Quen, kemarilah. Apa kamu baik-baik saja?"

"Quen baik, Om. Keadaan Quen memang kurang enak badan hari ini. Tapi, Quen baik-baik saja," terang Quen tak ingin membuat Awei khawatir.

Quen memandang ke sekeliling rumah Eder. Selama mereka berpacaran, baru inilah Quen ke rumah kekasihnya. Bukan karena Quen tidak pernah diajak, melainkan Quen yang selalu menolak jika diajak pria itu. Ia masih ragu mau dibawa ke mana hubungan mereka nantinya. Walau sebenarnya alasan Quen adalah ia takut menghadapi penolakan dari keluarga Eder itu sendiri. Seperti yang terjadi pada Tuan Daud, yang memang menolak hubungannya bersama sang kekasih.

Tetapi, mungkin saja pemikiran Quen itu benar. Selama ini Eder tidak pernah membicarakan hal tersebut dari sudut pandang keluarganya.

"Kebetulan kamu ada di sini. Apa hubunganmu dengan Eder berjalan lancar?"

Quen terpaku sesaat, mendapat pertanyaan seperti itu. Kelopak matanya yang sayu, mendadak mengembang. Apa nanti yang akan ia jawab?

"Kami baik-baik saja, Om."

"Kalau begitu, bisa Om minta tolong padamu?"

"Ada apa, Om?"

"Bisa kamu mengembalikan ini pada Eder?"

Awei menyerahkan kalung yang biasa dipakai Eder kepada Quen. Iya, sebuah kalung yang pada waktu itu sempat ditanya keberadaannya oleh Quen, tapi tidak dijawab oleh pria yang kini mulai mempelajari tentang Islam. Ternyata, di sini kalung itu. Sengaja dilepaskah?

Awei meninggalkan Quen yang masih fokus menatap kalung tersebut, pergi ke lantai atas menuju kamar Eder. Pria itu turun kembali menemui wanita yang mulai membaik keadaannya dengan sebuah buku di tangan.

SPEKTRUM HATI QUENARRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang