Seseorang membuka tirai jendela kamar perawatan Eder, sang surya begitu bersemangat mencoba menerobos masuk pembatas kaca jendela. Sinarnya menyilaukan sepasang mata yang baru saja terbangun dari tidur nyenyak semalam.
"Apa kamu sudah siap memulai hari baru dengan lembaran yang baru, Ed?"
Wanita itu masih terlihat samar dalam pandangan Eder. Hanya terlihat senyum manis yang paling menawan yang pernah diperlihatkan oleh orang yang telah membangunkan dirinya pagi-pagi sekali.
"Siapa itu?" Kedua mata menyipit, melihat sosok itu.
Wanita itu mendekat, masih memperlihatkan sebuah senyuman hangat, wajah sangat jelas terlihat memantul dalam kedua bola mata yang tiba-tiba membesar.
"Aku kekasihmu. Mengapa kamu begitu mudah melupakanku?"
"NARA!"
Eder berteriak, ia langsung terduduk terbangun dari mimpi yang baru saja menyergap. Napasnya tersengal, keringat dingin bercucuran perlahan mengalir pada ujung pelipis. Untuk sesaat pria itu termangu, masih memikirkan mimpi aneh yang tiba-tiba saja hadir.
Matanya menjelajah mencari waktu, jam berapa sekarang? Berhenti pada dinding ruangan yang bergantung benda bulat di atas sana.
"Jam tiga pagi," ucapnya lirih. "Mengapa aku bisa memimpikan Nara? Mengapa dalam mimpiku Nara adalah kekasihku? Apa kabar wanita itu sekarang?"
Semenjak peristiwa yang mengharukan di taman rumah sakit, Quen memang tak pernah lagi memperlihatkan batang hidungnya sama sekali. Wanita itu tak memberi kabar Eder, mengabaikan pesan bahkan telepon dari pria yang selalu menunggu kedatangan wanita itu ke rumah sakit. Setiap ia bertanya kepada Hannele, sahabat Quen itu selalu mencari alasan enggan menjawab. Membuat Eder semakin tak mengerti dengan sikap Quen yang tiba-tiba saja seperti sedang menjauhinya.
Awei terbangun, menyadarkan anaknya dari pemikiran yang tak juga segera mendapatkan jawaban.
"Kamu kenapa, Ed? Mimpi?"
Eder melirik menatap kedua mata lelah itu. Ia hanya tersenyum tanpa ingin membicarakan tentang mimpinya kepada Awei.
"Tidak ada, Pa. Eder hanya tidak sabar untuk menunggu besok."
Awei membalas senyum tulus itu, mengerti dengan kebahagiaan yang kini sedang mereka rasakan berdua.
"Tenang, Ed. Semua sudah dibereskan. Besok kita tinggal pulang saja ke rumah. Pastinya, tunggu visit terakhir dokter pada besok pagi."
Eder mengangguk, tubuhnya kembali berbaring. Namun, mimpi itu tak lenyap begitu saja, masih membayangi ruang pikirnya sekarang.
"Jika aku sudah pulang, aku akan pergi mencarimu, Nar. Sebenarnya ada apa denganmu?"
***
"Quen! Upin Ipin bahkan telah berjenggot karena lama menunggumu! Apa lagi yang ingin kamu bawa?"
Sudah lebih dari lima belas menit pria yang berkacak pinggang itu menunggu seseorang untuk keluar rumah. Namun, belum juga terlihat sehelai rambut pun wanita itu untuk memperlihatkan wujudnya.
"Sudah siap! Ayo, Gar!"
Tetapi, langkahnya tercekat oleh kedatangan seseorang. Seorang wanita yang akhir-akhir ini jarang terlihat di kampus mereka. Quen langsung menoleh menatap Garra.
Kedua mata pria itu seolah terbenam ke dalam rupa wanita yang sudah ia kenal sejak kecil. Lebih tepatnya lagi, wanita yang sudah ia tolak pengakuan cintanya, yaitu Helena.
KAMU SEDANG MEMBACA
SPEKTRUM HATI QUENARRA
Romance"Kiri dan kanan. Sepasang kaki memang terlihat jalan beriringan, namun sadarkah Anda? Sepasang kaki jika berjalan tak pernah saling berpapasan. Bahkan, tak mampu untuk sekedar menyapa."-Garra Bhalendra "Tapi Anda melupakan sesuatu, sepasang kaki dia...