Pantulan bayangan sebuah pusara masih jelas terlihat pada kaca mata hitam yang telah dipenuhi rintik hujan. Pagi hari yang seharusnya diawali dengan sinar mentari, tapi tidak untuk hari ini. Rintik air kembali menyapa bentala. Mengalahkan sinar itu untuk kembali kelabu. Seakan tahu ada hati yang sedang tersakiti ikut larut dalam buaian raga yang letih.
Kerudung hitam meninggalkan bercak tetes-tetes air yang semakin lama semakin memenuhi. Suara isak tangis bahkan mulai kalah dengan suara gemuruh yang datang tiba-tiba.
Ia meletakkan sebuket mawar putih pada atas makam tersebut, membelai lembut kepala batu nisan yang jelas tertera namanya di sana, Aziza Syafa. Seolah tak pernah habis, tak pernah lelah, seorang Quenarra harus selalu berujung dengan air mata.
Kejadian semalam kembali terputar dibenaknya. Masalahnya dengan Eder, maupun kejadian saat di rumah mertua. Apa yang terjadi dengan hatinya kini? Ia mulai bingung dengan perasaannya sendiri. Quen menatap hampa makam yang berada tepat dihadapannya. Banyak yang ingin ia bagi bersama, namun apa daya kenyataan ada di depan mata. Satu yang hanya bisa ia lakukan selain berdoa. Menangis seterusnya.
"Bolehkah Quen menyerah, Ma?"
***
Sebuah taksi online berhenti tepat di depan rumah Tuan Daud. Seorang wanita muda berkerudung keluar dari dalam mobil, sesaat ia menghela napas seakan menanggung beban hidup yang sangat berat.
Senyumnya langsung merekah saat melihat Tuan Daud berada di depan rumah sedang bermain dengan burung-burungnya. Mereka berdua saling bertatapan menabur senyum yang membuat sekitar menjadi terasa hangat walau rintik masih tak mau kalah, tetap memberikan semilir dingin pada tubuh Quen.
"Quen, ada apa kamu kemari? Suamimu mana?" Tuan Daud langsung mendekati anaknya itu.
Wajah renta tak dapat menutupi rasa khawatir yang langsung menyergap dirinya, ketika melihat sang anak pulang ke rumah orang tua tanpa di antar oleh sang suami.
"Quen mampir sebentar, Pa. Rindu." Pelukan hangat langsung diberikan Quen untuk Tuan Daud. Menahan air mata yang telah siap untuk kembali runtuh.
Tuan Daud mengelus lembut pundak anak kesayangannya. Walau Quen sudah memberikan alasan, tetap saja firasat orang tua tak pernah salah.
"Sabar, Nak. Tidak ada yang mudah dalam hidup ini. Bahkan, semut pun harus bersusah payah menggotong makanannya agar dapat bertahan hidup. Apa lagi kita sebagai manusia yang memiliki akal, pikiran dan perasaan. Kamu mengerti?"
Quen menggeleng lemah, tak mampu lagi berkata, hanya air mata yang menjadi jawabannya. Sulit bagi tubuhnya untuk melepas pelukan ini, pelukan ternyaman yang sangat ia butuhkan. Pelukan kasih sayang seorang Papa.
"Quen, apabila kamu rindu Papa. Datanglah bersama Garra, jangan sendiri. Kamu sudah bukan gadis lagi, kamu sudah bersuami. Apa Garra tahu kamu kemari?"
Kali ini Quen enggan menjawab. Ia masih diam, menata air mata agar tak lagi tumpah.
"Pa, apa Papa dan Mama menikah karena saling cinta?" Tiba-tiba pertanyaan itu terbesit dalam benak Quen.
Tuan Daud merasa heran mendapat pertanyaan seperti itu.
"Tentu saja, Quen. Bukankah kamu dan Garra juga saling cinta?"
Quen tersenyum dibalik punggung yang tak lagi kekar, untuk bersilat lidah pun bahkan mulai sulit dilakukan.
"Apa dua orang asing yang tidak saling cinta bisa menikah?" Kembali Quen mengajukan pertanyaan yang semakin aneh didengar.
Tuan Daud segera melepas pelukannya. Mengunci kedua netra coklat itu yang masih basah dengan air mata.
"Apa maksudmu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SPEKTRUM HATI QUENARRA
Romansa"Kiri dan kanan. Sepasang kaki memang terlihat jalan beriringan, namun sadarkah Anda? Sepasang kaki jika berjalan tak pernah saling berpapasan. Bahkan, tak mampu untuk sekedar menyapa."-Garra Bhalendra "Tapi Anda melupakan sesuatu, sepasang kaki dia...