R

899 132 19
                                    
































































"Loh... Kok ikut pulang? Leesa mana gak di ajak kesini juga?" Tanya sang Mama yang kaget melihat kedua anaknya pulang hanya boncengan berdua.

Sooya nampak diam dan langsung berjalan ke kamarnya dengan wajahnya yang masam.

"Kenapa lagi kakakmu, Sean?" Tanya Mama lagi.

"Gak tau tuh... tadi tiba-tiba mereka bertengkar dan kak Chu ngotot pengen ikut pulang deh..." jawab Sean sembari melepaskan jaketnya.

"Bertengkar karena apa? Perasaan seharian tadi baik-baik saja?"

"Kak chu marah karena Leesa tak mau kuliah, Leesa yang keras kepala tetap ngotot bisa jadi pengusaha sukses tanpa harus kuliah. Dia sekarang sudah mulai kerja di bengkel temannya, dan karena itulah kak Chu marah, karena Leesa tak mau mementingkan pendidikan saat kedua orang tuanya saja mampu membiayai," jawab Sean lalu meneguk segelas air.

"Bukankah terlalu awal mengkhawatirkan itu? Apa yang Leesa lakukan dan katakan sudah benar kok, memang dasar sepertinya Sooya yang punya niatan lebih, dia kan belum lama ini bilang tak mau mewarisi pabrik kita dan ingin menjadi seorang dokter. Mungkin dia ingin suaminya memiliki pendidikan yang sama tingginya dengan dirinya nanti, dan bekerja dengan seragam berkelas seperti dokter, Jaksa, atau polisi. Itu pemikiran yang bagus, tapi juga sangat mengekang untuk Leesa yang setahu papa, dia hanya ingin segera menjadi seorang papa muda dan ngebucin ke Sooya," jelas papa yang ikut nimbrung dan meneguk segelas kopi nya.

"... Bukankah kalian bisa melihatnya? Yang Leesa pikirkan apapun keadaannya selalu berujung ke Sooya, dia sudah sangat luar biasa menjadi seorang suami dan papa muda, tapi menurut papa, masih belum siap menjadi kepala keluarga," lanjut papa sembari melihat ke anak istrinya.

Sean mengangguki ucapan sang papa, "Ini takkan terjadi juga kalau kalian tak menjodohkan mereka, kan? Jadi menurutku, ini tetap salah mama papa."

Sean lalu bangun dari kursinya dan berjalan ke kamarnya yang ada di lantai atas.

.
.
.

Disisi lain, Sooya kini tengah menangis di kamarnya dan memeluk erat bantalnya, suara tangisnya tak terdengar kencang namun justru itu dia sangat sesenggukan.

Cukup lama ia menangis bahkan hingga waktu menunjukkan pukul sebelas malam, Sooya mulai lebih tenang dan melihat ke ponselnya. Leesa tak menghubungi nya atau mengirimi nya pesan sama sekali, Sooya makin sakit hati.

Ia melihat ke perutnya yang masih rata, Sooya sadar seharusnya ia tidak menangis karena itu juga akan membuat si baby jadi bersedih, padahal biasanya di malam-malam begini, adalah waktu Sooya untuk bermanja-manja dengan mas suami.

"Maaf ya dedek... Hiks... Mama sama papa masih sama-sama egois, hiks... Kita sering sekali bertengkar dan masih sama-sama susah mengalah, hiks... Tapi beneran kok... Hiks ... Mama tetap sayang sama papa kamu, hiks... Kamu yang sabar ya punya mama papa muda seperti kami, hiks.." ujar Sooya sembari mengelus perutnya.

Setelah lebih tenang, Sooya mulai keluar dari kamar dan berjalan ke dapur untuk mengisi perutnya yang tiba-tiba keroncongan. Terlihat di atas meja makan beberapa lauk yang sepertinya di siapkan oleh sang mama untuknya, karena memang Sooya tidak kunjung mau buka pintu sejak ia datang ke rumah tadi saat di panggil sang mama.

Sooya mulai menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya, meskipun sangat lapar, tapi nyatanya Sooya tetap tidak nafsu makan dan sesekali terlihat meringis, semua makanan yang ia cicipi terasa hambar dan tak enak.

The Young Marriage (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang