Hiruk pikuk keramaian terasa semakin jelas terdengar, pun meski kami masih berada di dalam van yang mendekati gedung pertunjukan. Aku memeluk erat benda berharga fantastis dengan erat di dekapanku. Mungkin gajiku selama setahun pun belum tentu dapat mengganti benda ini jika aku merusaknya.
Van pun perlahan berhenti. Aku yang duduk di belakang seperti biasa dengan sabar menunggu giliran. Dengan cepat Tio membuka pintu dan membiarkan bintang nomor satu di negara ini berjalan terlebih dahulu. Ramai semakin terasa memekikan telinga namun aku sudah terbiasa. Selama hampir enam bulan aku bekerja dengannya membuat keramaian ini terasa amat merdu. Seakan menjadi bukti bahwa dia masih dicintai oleh seluruh penggemarnya di seantero bumi.
Tio dengan baiknya memegang pakaian yang ku dekap sedari tadi. Rupanya ia melihatku yang kesusahan turun dari van. Aku menyadari jika tempat ini menyediakan petugas keamanan dengan jumlah sangat banyak. Syukurlah, kami tak perlu khawatir dengan keselamatannya.
"Biar kubantu." Tio membawakan dua stel pakaian yang masih aman tertutup plastik laundry. Beruntung aku tidak lupa mengirim pakaian berharga ini ke laundry langganan bosku.
"Gak perlu mas, aku bisa kok." Tentu saja aku tidak enak padanya. Tio adalah seorang manajer artist dan aku hanyalah asisten sang artist tersebut. Rasanya tidak pantas jika Tio membantuku seperti ini.
"Santai." Tio menggumam. Tak kudengar teriakan saat kami berjalan melewati para penggemar. Tentu saja mereka tidak berteriak, memangnya aku ini siapa?
"Ck. Lelet." Tak perlu melihat untuk tahu siapa yang berbicara.
Yohan Addison. Seorang penyanyi merangkap aktor yang namanya sangat di elu-elukan di seluruh penjuru negeri. Orang yang menjadi tumpuanku demi sesuap nasi.
"Maaf." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Yohan tidak suka dibantah. Entahlah, tapi kalian akan kaget jika tahu siapa sebenarnya pria tampan yang mungkin saja akan kalian kagumi jika bertemu dengannya.
"Gak masalah, masih sisa banyak waktunya." Ini dia, penyelamatku itu menepuk bahu Yohan seakan menenangkan. Siapa lagi kalau bukan Tio. Terkadang aku heran, kenapa Yohan yang tempramental itu akan menurut jika bersama Tio. Tapi untunglah, aku dapat sedikit tenang.
"Malah bengong, taro disana!" Yohan melotot saat mendapatiku bengong melihat Tio.
"Iya." Aku bergegas menggantung beberapa pakaian itu di stand hanger yang telah tersedia di ruangan ini.
"Tema apa?" Yohan duduk di depan kaca rias super besar sebelum seorang wanita mulai memperbaiki riasan wajahnya.
"Bersatu dengan alam." Tio membaca sesuatu di handphonenya. "Temanya hijau." Setelah mendengar ucapan Tio, aku segera menyiapkan satu stel pakaian dengan warna hijau dan putih tulang.
Yohan mengibaskan jemari si penata rias yang menyentuh alisnya.
"Jangan sentuh alis gue." Ucapnya kesal. Si penata rias nampak sedikit kaget. Aku menyadari jika wanita itu bukanlah penata rias kami. Suasana jadi terasa sedikit canggung.
"Sorry, saya belum bilang ya? Yohan nggak suka alisnya disentuh. Dia biasa ngerapiin alisnya sendiri." Tio menjawab ramah, memecah keheningan yang sempat terjadi. Wanita itu mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya tanpa bertanya lebih banyak. Sangat profesional rupanya.
Setelah selesai aku menyerahkan pakaian serba hijau itu kepada Tio. Yohan tidak akan mau siapapun yang membantunya selain Tio, tak terkecuali aku. Bahkan Yohan membatasi kami hanya bisa berdekatan minimal satu meter. Aku merasa keberatan di awal pertemuan kami, tetapi lama-lama terbiasa juga.
Acara kali ini adalah sebuah talkshow malam, setahuku acara ini memang selalu menghadirkan tema yang berbeda-beda. Ini kali kedua Yohan diundang ke acara ini. Aku tersenyum menyadari betapa hebat dan terkenal bosku itu. Sumber dari pundi-pundi uangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika [bxb]
General FictionTerjebak bersama aktor 'palsu' sama sekali bukan tujuan hidup Sena. Boyslove/BL/Fiction ©Byolatte