"Udah puas diemin gue seharian?" Sena terkejut mendapati bosnya itu berdiri di belakangnya. Sena yang tengah mencuci muka terkejut melihat pantulan Yohan lengkap dengan pakaian manggungnya berdiri di ambang pintu toilet.
"Maksud bos apa?"
"Maksud bos apa?" Yohan menirukan gaya bicara Sena dengan nada menyebalkan. "Lo udah puas belum Senandika?"
"Aku gak ngerti bos?" Ucapan Sena membuat Yohan mendengus.
"Lo sendiri yang gak ngebiarin gue jelasin kalo Tio yang lunasin hutang itu. Lo inget gak?"
Sena terdiam, menatap Yohan beberapa detik sebelum mengalihkan pandangannya. "Udah berlalu bos, gak usah di bahas."
"Nggak segampang itu lo bilang gausah dibahas ya." Yohan bersidekap. "Lo pasti mikir gue licik dan egois, kan?"
"Sama sekali enggak bos." Sena balas menaikan nada suaranya. "Aku gak pernah mikir bos kaya gitu. Aku cuma kecewa." Suara Sena melemah di akhir. "Tapi aku sadar, pasti bos punya alasan untuk itu."
Yohan hendak membuka mulut sebelum suara ramai mendekati mereka. Aktor itu refleks menyeret Sena masuk ke dalam salah satu bilik toilet dan menguncinya.
Sena menatap Yohan bingung. Kenapa bosnya menyeretnya kesini? Bukannya dengan begini orang-orang akan lebih curiga padanya?
Yohan mengisyaratkannya untuk menutup mulut dan jangan bersuara. Nampaknya beberapa orang masuk untuk menggunakan toilet jika didengar dari langkah kaki yang ramai.
Sena menatap dada Yohan tepat di depan wajahnya. Kondisi toilet yang sempit membuatnya berdekatan dengan bosnya itu. Sena mengalihkan pandangan ke samping, menatap dinding lebih baik daripada menatap dada bidang milik sang aktor tersebut.
Sena merasa jika Yohan menyentuh dagunya. Pemuda itu menatap sang aktor dengan tatapan bingung. Sebelum sepasang bibir menyentuh bibirnya tanpa aba-aba.
Jantung Sena berdetak cepat. Badannya terasa kaku dan pikirannya blank. Yohan menatapnya sekilas sebelum kembali mengecup bibirnya. Kali ini dengan sedikit hisapan yang membuat Sena semakin berdebar. Ia merasa jika Yohan menyentuh dan menggenggam tangannya yang mengepal erat.
Demi apapun ini adalah ciuman pertama Sena! Pemuda itu menutup mata dan pasrah dengan semua serangan yang dilakukan Yohan. Sebelah tangan Yohan memegang erat leher Sena hingga membuatnya mendongak. Sena mengerutkan kening saat Yohan menghisap bibir bagian bawahnya.
"Lo takut?" Yohan berbisik. Sena membuka mata dan menatap sang aktor yang tersenyum. Pria itu memeluk Sena sebelum melandaskan sebuah kecupan di leher asistennya itu.
"Maaf, gue gak bisa nahan."
Ucapan Yohan membuat Sena terpaku.
***
"Kayaknya seneng banget nih?" Tio menatap Yohan yang tengah memakai seatbelt.
"Perasaan lo doang itu mah." Sangkal Yohan. Meski dalam radius satu kilometer pun senyuman lebar Yohan itu dapat dengan jelas terlihat.
Sena duduk bersandar di kursi favoritnya, memalingkan wajah ke samping menatap tumpukan pakaian milik sang aktor yang telah mencuri ciuman pertamanya. Sena menutup wajahnya dengan bantal leher dan mengerang pelan.
Ia tidak marah pada bosnya, sama sekali tidak marah. Meski terdengar aneh bosnya yang notabene seorang pria menciumnya yang adalah seorang pria juga. Apa Yohan adalah orang yang seperti 'itu' ? Sena memainkan bantal leher di tangannya. Ia sendiri tak paham dengan perasaannya sendiri. Dibilang menikmati yah ia tidak membencinya. Hanya itu yang dapat ia simpulkan saat ini.
Sena menatap bagian belakang kepala Tio. Seperti mendapat sebuah sinyal, pria itu menoleh dan tersenyum manis kepadanya. Sena membalas dengan senyum hambar.
Entahlah, tapi ia merasa bersalah pada Tio.
Sesampainya di rumah, seperti biasa Sena sibuk berkutat dengan barang bawaan Yohan. Pemuda itu merogoh sepatu yang terselip sebelum sebuah tangan menjangkau benda yang ia cari.
"Eits tangan gue panjang ya bukan panjang tangan. Nih." Sena agak berjengit saat menyadari Yohan yang membantunya.
"Makasih bos." Ucapnya. Sena merasa malu untuk sekadar menatap bosnya saja.
Yohan meraih sebagian pakaian miliknya dan berlalu ke dalam rumah tanpa berkata sepatah kata pun. Pria itu bahkan bersiul dengan langkah riang.
"Ada apa sih?" Tio membantu Sena menutup pintu mobil dan membawakan beberapa tentengan dus sepatu milik Yohan.
Sena menggeleng dan tersenyum kecil. Pemuda itu merasa jika Tio mengetahui kelakuannya tadi bersama Yohan. Meski kecil kemungkinannya, kan?
"Langka banget pemandangan kayak gini." Tio tergelak. Sena terdiam, memori otaknya seakan berputar pada kejadian tadi sore. Yang jadi pertanyaan adalah, kenapa ia merasa bersalah pada Tio?
***
Yohan menari-nari di kamar. Pria itu bahkan menirukan gerakan balerina secara asal. Hatinya senang bukan main, apalagi saat ia merasa Sena membalas ciumannya, meski samar sekali.
Yohan teringat sesuatu. Ia mendadak terduduk di sisi tempat tidur.
"Goblok! Terus gimana dengan Tio?" Aktor tampan itu menganga dengan pandangan kosong. "Ternyata lo beneran licik Yohan." Pria itu berbicara sendiri, ia melangkah menuju cermin dan menatap pantulan dirinya.
"Lo orang yang mengerikan. Bisa-bisanya inceran Tio lo embat, hah!?" Yohan meremas rambutnya. "Tapi Sena nggak nolak." Lagi-lagi Yohan bermonolog. "Apa itu artinya dia juga suka gue? Lalu Tio..?"
Pria itu mondar-mandir mengitari kamar dengan gelisah. Ia menatap jam meja yang menunjukan pukul sepuluh malam. Yohan menyerah, memilih melanjutkan overthingkingnya di esok hari.
***
Sena tengah berbaring dengan selimut di dada. Pemuda itu asyik menatap langit-langit kamar sambil memikirkan kejadian tadi sore. Ia berusaha mengingat-ingat apa saja yang diucapkan oleh Yohan saat itu.
"Hanya 'lo takut?' kan?" Sena bermonolog. Ia tak merasa Yohan menyatakan perasaannya. Apakah ciuman tadi sudah biasa ia lakukan pada siapa saja? Sena tidak tahu bosnya itu playboy atau bukan. Seingatnya aktor itu hanya mempunyai beberapa mantan kekasih. Bisa dibilang Yohan adalah pria yang cukup setia.
"Ah!" Sena mengerjap. "Kayaknya sama 'maaf gue gak bisa nahan' deh?" Pemuda itu terduduk tiba-tiba. "Maksudnya gak bisa nahan apanya?" Sena mengerang. Memikirkannya saja membuatnya pening sekali. Ingin rasanya menanyakan langsung, tapi Sena merasa malu.
Pemuda itu memutuskan untuk keluar kamar sekadar untuk mengambil minum. Ia menyalakan lampu dan agak berjengit mendapati sosok Tio sedang duduk di meja makan.
"Mas Tio ngagetin aja." Sena mengusap dada dan beralih mengambil air dingin di lemari es.
Tio terkekeh. Pria itu sedang mencubiti sebuah roti tawar.
"Mas Tio laper?" Sena tergelak. Ia menarik kursi di sebelah Tio dan duduk disana.
Tio menggeleng. "Lagi gak bisa tidur, Sen."
"Kenapa?" Sena menopang dagu menatap sang manajer.
Tio mengangkat bahu. "Gak ada alesan, cuma kebetulan aja gak bisa tidur. Kamu sendiri?"
"Aku haus." Sena nyengir, kemudian menghabiskan isi gelasnya.
Tak ada balasan dari Tio, pria itu kembali mencubiti roti namun tak memakannya.
"Sini aku makan aja." Sena menarik piring berisi potongan roti dan memakannya. "Kalo buat dimainin doang mah mending jangan, Mas."
Tio tergelak. Ia menatap Sena dengan senyum mengembang. "Kalo mas kasih goodnight kiss, kamu mau Sen?"
Sena menelan kunyahannya dengan susah payah. Ia menatap Tio bingung.
"Lupain aja." Tio menggaruk kepalanya. "Lanjutin gih, mas ke kamar dulu."
Sena mengangguk tanpa menatap Tio. Pemuda itu menghabiskan roti tanpa berkata apapun.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika [bxb]
General FictionTerjebak bersama aktor 'palsu' sama sekali bukan tujuan hidup Sena. Boyslove/BL/Fiction ©Byolatte