18. Lupakan

422 57 10
                                    

Sena terbangun. Gerakannya yang tiba-tiba membuat Arde melonjak karena terkejut.

"Kaget anjir, lo mimpi?"

"Pada kemana?" Sena merapikan rambutnya yang agak berantakan.

"Udah mulai sih kayaknya. Lo tadi pules banget."

Sena menepuk dahi. Apa-apaan dia ini? Tidur nyenyak seakan bos besar.

"Santai aja, sejam lagi juga balik."

Sena mengambil barang-barangnya, "Aku mau kesana, mas Arde mau disini?"

"Hah?" Arde menggaruk kepalanya. "Oh ya udah lo kesana aja. Gue juga mau pergi bentar lagi."

Sena melenggang berlalu menuju studio tempat bosnya berada. Ia mendapati Risa dan Tio yang tengah mengobrol, tak jauh dari set.

"Maaf aku ketiduran." Sena nyengir, Tio hanya menggelengkan kepala.

"Bentar lagi juga kelar, santai aja." Kemudian pria itu pergi setelah menerima telepon.

Sena menghela napas lega. Pemuda itu bersender di samping Risa dan menatap kesana kemari, dimana para kru bersliweran sibuk dengan tugasnya masing-masing.

"Bos marah ga kak?" Sena berbisik pada Risa. Wanita bermakeup gothic itu mengangkat bahu.

"Bahas lo aja nggak, Sen. Kalian marahan?" Wanita itu balas berbisik.

Sena menggeleng, "Aku juga gak tahu kak, bos kayak cuekin aku terus dari pagi. Nggak nganggep aku ada."

Risa mengelus dagu, "Lo ngelakuin kesalahan kali?"

Sena berdecak, ada juga bosnya yang tiba-tiba mencuri ciumannya. Apa karna itu ya? Apa gara-gara Sena tidak menolaknya? Tapi nampaknya agak kurang masuk akal. Sena mengeluh dalam hati. Memikirkan kesalahan apa yang sudah ia lakukan belakangan ini.

Pintu terbuka, Risa dan Sena serentak menengok pada sosok yang barusan keluar. Itu Yohan. Pria itu menggenggam sebuah dasi dan melirik pada Risa dan Sena.

"Kasih ke Tio." Dasi itu ia lempar pada Risa, yang mana terlihat aneh karena jelas-jelas Sena berada lebih dekat dengannya.

"Bos butuh sesuatu?" Ucapan Sena tidak membuat Yohan meliriknya. Pria itu malah menatap Risa.

"Bilang Tio, gue tunggu di mobil." Setelahnya pria itu melenggang pergi menghilang di balik lift.

Sena menatap kepergian bosnya dalam diam, ia menatap Risa dan memasang wajah 'tuh kan apa aku bilang'.

Risa bersidekap lalu menyerahkan dasi ke tangan Sena.

"Gue cabut dulu ya, lo harus selesein masalah lo secepatnya Sen. Bos lo ngeri juga kalo cuek gitu." Kikiknya. Setelah itu Risa pun melenggang pergi meninggalkan Sena yang diam terpaku.

*

Sena melangkah dengan gontai. Wajahnya murung dan kusut. Ia sudah mengirim pesan pada Tio dan hanya dibalas dengan emoticon jempol. Pemuda itu sampai di mobil dan hanya mendapati bosnya saja.

Sena mundur, memutuskan untuk menunggu di luar daripada berada berdekatan dengan bosnya. Ia takut Yohan akan terganggu dan mengumpat padanya. Sena sedang dalam posisi tidak ingin cari masalah.

Pemuda itu memilih menduduki beton yang mengelilingi sebuah pohon rindang, menunggu Tio dan Pak Herman.

Sementara itu di dalam mobil Yohan memandang pemuda yang lebih pendek darinya tengah terduduk sambil melamun. Ia berdecak, keningnya mengerut seolah sedang memikirkan sesuatu. Beberapa detik kemudian ia membuka pintu mobil dan memberi isyarat agar Sena mendekat.

"Masuk." Ucapnya singkat.

Sena tertegun, namun pemuda itu menuruti perkataan bosnya. Ia menduduki tempat yang hanya di peruntukan padanya. Jok belakang, lengkap dengan kotak sepatu dan pakaian yang berjejal di sampingnya.

Hanya keheningan melanda. Sena memandang keluar jendela dan tak mendapati sosok sang sopir dimanapun. Heran, kemana ya perginya pak Herman?

"Ada yang mau lo omongin?" Suara Yohan membuat Sena menghentikan lamunannya. Pemuda itu mengerutkan kening, bingung dengan perkataan bosnya. Ia berusaha mencerna akan ke arah mana percakapan ini.

"Nggak." Sena menghela napas. "Aku minta maaf kalo ada salah." Lanjutnya.

Yohan menggeleng, meski Sena hanya dapat melihat belakang kepalanya saja.

"Lo gak salah, gue yang salah." Hampir tak terdengar Yohan berkata.

Sena terdiam, tak berniat menyahuti.

"Sorry. Harusnya kemarin kita gak.." Yohan berdehem. "Pokoknya sorry, oke? Dan lupain kejadian kemarin. Anggap gak pernah terjadi." Nada suara Yohan terdengar kembali seperti biasa. Angkuh dan terkesan memerintah.

"Kenapa?" Hanya itu yang keluar dari mulut Sena. "Apa bos nyesel ngelakuin hal itu sama aku?"

Pertanyaan yang tak pernah terjawab karena kedatangan Tio dan Pak Herman. Semakin membuat Sena tak karuan.

Yohan terdiam. Entah harus bersyukur dengan kedatangan Tio dan Pak Herman atau malah kesal karena mengganggu momen mereka berdua.

'Gue gak nyesel Sen, gue cuma ngerasa bersalah sama Tio. Bahkan gue gak peduli kalau karir gue ancur sekalipun.'

Sayang, sederet kalimat itu tak pernah terucap dari mulut Yohan.

***

Hari demi hari berlalu, Sena semakin yakin bahwa sang bos menjaga jarak dengannya. Ia berusaha menerima hal tersebut. Mungkin saja kemarin Yohan khilaf dan Sena memaklumi hal itu, mengingat Yohan sudah lama tak memiliki kekasih.

"Tapi apa wajahku ini kaya cewek?" Sena bermonolog. Sedikit tak terima jika bosnya membayangkan dirinya seperti perempuan. Hey, ia tidak se feminim itu!

"Sen, bengong aja. Bawain ini bisa?" Tio mengibaskan telapak tangannya berkali-kali pada wajah Sena.

"Eh iya mas. B-Bisa." Sena mengambil alih tentengan paperbag yang berisi barang dari sponsor.

"Maaf ya, aku agak repot." Tio nyengir membuat Sena tak enak.

"Emang udah kerjaan aku mas, malah mas Tio yang repot." Sena agak malu sebenarnya, ia jadi sering melamun dan terkesan tak fokus.

"Kamu ada masalah, Sen?" Tio bertanya ketika mereka berdua memasuki lift, menuju lantai dasar untuk bersiap pulang. Yohan sudah pergi entah kemana.

Sena menggeleng, "Enggak mas, cuma kurang tidur aja." Kilahnya.

Tio mengangguk, "Jaga kesehatan Sen, jangan sampai kamu drop. Aku ada vitamin di rumah. Nanti kamu ambil ya."

Sena tersenyum. Tio masih sama, baik dan perhatian.

"Kalau mas punya adik, pasti disayang banget ya mas?" Sena nyengir.

"Kan kamu adik mas."

Sederet ucapan itu membuat cengiran Sena hilang.

***

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang