05. Dekat

1.8K 309 10
                                    

Aku terhenyak. Menyadari hal penting yang baru kusadari saat berada di Lombok minggu lalu. Yohan tidak marah saat kami berdekatan. Ia tidak meneriakiku seperti sebelumnya agar menjaga jarak. Apa itu karena kami berada jauh dari keramaian?

Kami bertiga menjalani hidup yang biasa. Yohan dengan jadwalnya yang padat, pun aku dan Tio masih menjalani rutinitas yang melelahkan. Tidak ada yang berubah semenjak kejadian malam itu. Yohan masih sering menggerutu, meneriakiku kalau dirasanya aku lamban dan berbagai umpatan darinya. Bagiku mungkin itulah caranya untuk mengekspresikan diri.

Yohan di balik kamera dan dunia nyata adalah hal yang sangat jelas berbeda. Yohan yang murah senyum berbanding terbalik dengan Yohan yang selalu memasang wajah masam. Aku mengerti, lelaki itu hanya bekerja, dan dia harus profesional. Meski suasana hatinya tak dapat ditebak tapi pekerjaan tidak mungkin menunggu moodnya membaik, kan?

Seperti saat ini, hari Sabtu yang seharusnya aman dan damai dikejutkan oleh suara teriakan.

"Sena! Tio!" Itu tuan besar. Dari suaranya terdengar dia sedang merajuk. Artikel macam apa lagi yang ia baca?

Aku dan Tio tiba dihadapan Yohan dalam hitungan detik. Ia meletakan layar handphone yang menampilkan sebuah artikel dengan gambar dirinya. Aku mengeja judul artikel tersebut dan membulatkan mulut ketika berhasil membacanya.

'Yohan Addison, aktor tampan yang sampai kini masih betah sendiri'

Hey apa-apaan dengan jurnalis jaman sekarang. Aku mati-matian menahan tawa sedangkan Tio sudah lebih dulu tertawa terbahak-bahak.

"Lucu ya?" Yohan menggeram. Meremas bantal sofa di pangkuannya.

"Apa yang salah? Emang bener kan judulnya?" Tio mengulum senyum. Yohan menggeram hingga alisnya menyatu.

"Cariin gue pacar." Aku dan Tio bertatapan.

"Cewek?" Dengan bodohnya kata itu yang keluar dari mulutku. Hampir saja sebuah bantal sofa mengenai wajahku sebelum Tio lebih dahulu menepisnya.

"Jangan kasar Han." Tio menggelengkan kepala, Yohan hanya menoleh ke samping tanpa berkata apapun. Aku mengambil bantal sofa itu dan menaruhnya kembali ke dekat Yohan dengan perlahan.

"Terus gimana? Sialan! Siapa sih yang nulis! Biar gue patahin jarinya." Yohan menatap layar handphonenya dengan penuh emosi..

"Itu kan cuma artikel kacangan." Tio berusaha menenangkan. "Nanti juga ilang, belum tentu juga banyak yang baca kan?"

"Belum tentu gak ada kan? Pasti ada yang baca lah!" Yohan meletakan handphonenya dengan kasar, ia menutup wajahnya dengan bantal sofa.

"Yang penting kan bos masih cakep. Jomblo bukan masalah, kan?" Entah keberanian darimana aku berkata seperti itu. Yohan meletakan bantal ke sofa dan menatapku dengan kening berkerut.

"Yaa, apa salahnya gak punya pacar? Aku jomblo, mas Tio juga." Tio menahan tawa saat aku dengan sengaja menunjuknya. "Yang penting kita kan jomblo berkualitas." Diakhiri dengan menepuk dadaku bangga. Hening hingga suara tawa Tio memecah keheningan.

"Ngomong apa sih." Yohan kembali menutup wajahnya dengan bantal. Yasudah lah setidaknya aku sudah berusaha.

Tio mengelus pundakku, "Kamu jadi pulang? Mau kapan?"

"Pulang?" Yohan yang mendengar ucapan Tio mendadak melotot. "Siapa yang ngizinin elo pulang?"

"Sebentar kok, nengokin rumahnya doang. Udah lama Sena gak pulang." Tio menjelaskan.

"Langsung balik sini gak?" Aku mengangguk. Aku memang tidak berniat berlama-lama di tempat itu. Hanya saja hari ini penagih hutang akan datang ke rumahku, menagih janji.

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang