"Lho, kenapa kamu disini?" Sena menoleh pada Tio yang datang dari arah lift. Pria itu menenteng beberapa stel pakaian Yohan. "Ada siapa?" Tio melongok mengintip dari balik jendela kaca. Pria itu mengangguk paham saat melihat sosok perempuan mantan kekasih Yohan.
"Mau nongkrong dulu di bawah? Aku taruh ini dulu ya." Tio masuk ke ruang tunggu dan sedikit berbincang di dalam. Sena tidak terlalu mendengarnya.
"Perempuan itu yang datengin bos." Ucap Sena. Tio mengangguk. Pria itu menatap arloji di pergelangan tangannya.
"Sepertinya mereka ngobrol serius, kita tunggu sebentar di bawah aja ya?"
Sena menatap siluet Yohan dan sosok perempuan cantik yang kini berdiri berhadapan. Pemuda itu mengangkat bahu dan mengikuti langkah Tio.
"Kopi?" Tio membawa satu cup berisi kopi yang masih mengeluarkan asap dan menaruhnya di hadapan Sena.
"Makasih mas." Sena nyengir, bersyukur karna Tio benar-benar mengerti kebutuhannya saat ini. Pemuda itu meniup kopi sebelum menyeruputnya.
"Sen." Tio memandang kedua tangannya yang mengepal erat.
Sena mendongak, menatap Tio tanpa menjawab.
"Kamu kalau ada apa-apa bilang sama aku, ya?" Tatapan Tio jelas menyiratkan kekhawatiran.
Sena mengangguk meski wajahnya terlihat kebingungan.
"Yohan.." Raut wajah Sena berubah, nampak terkejut. ".. Kalau dia ngelakuin sesuatu yang kamu gak suka, kamu bilang aku ya. Jangan dipendem sendiri."
Sena mengerjap. Degup jantungnya duakali lipat lebih cepat. Pemuda itu merasa jika sang manajer mengetahui rahasia kecilnya bersama Yohan.
"Mas Tio.. Udah tahu?" Terbata Sena berkata. Suaranya tercekat.
Tio mengangguk ragu. "Yohan yang ngasih tahu aku." Pria itu berdehem kemudian menyeruput kopinya. "Sen, aku serius kalau Yohan ganggu atau bikin kamu gak nyaman kamu jangan takut buat bilang ke aku."
Sena menatap sekeliling dan merasa jika semua pasang mata menatap padanya. Meski kenyataannya tidak seperti itu.
"M-maaf mas. Aku gak bermaksud buat hancurin karirnya b-bos." Pemuda itu menjawab dengan gelisah.
"Hey! Bukan itu. Yang aku pikirkan itu kamu Sen. Persetan dengan karir Yohan." Tio bergeser hingga mendekat pada Sena dan merangkul pundak pemuda itu. "Kamu bisa nolak kalau kamu dipaksa, oke? Jangan takut, kamu bisa lawan Yohan kapan aja."
Sena menatap Tio, masih terdapat gurat kebingungan di wajah pemuda itu.
"Mas sayang sama kamu Sen, mas udah anggep kamu adik mas sendiri."
Sena mengerjap beberapa kali, meyakinkan indra pendengarnya. Dia hanya dianggap sebagai.. Adik?
"Adik?" Sahut Sena nyaris tak terdengar. Pemuda itu menunduk selama dua detik. 'Tentu aja cuma adik, apa yang kamu harapkan Sena?' Sena membatin.
"Mas nggak mau terjadi sesuatu sama kamu, Sen. Maka dari itu mas mohon, libatkan mas di setiap masalahmu, ya?"
Sederet kalimat dari Tio membuat kepala Sena pening.
***
Arde bersiul. Aktor tampan itu berjalan santai dengan lengan di kedua kantong celananya. Ia menyusuri lorong dan berhenti di cafetaria. Segelas kopi panas di pagi hari nampaknya akan terasa sempurna.
Setelah membayar dan mendapatkan kopinya, pria berhidung mancung itu menghentikan langkahnya. Ia menatap seseorang yang duduk menunduk di sudut ruangan. Arde mengangkat alis, postur dan perawakannya itu nampaknya ia mengenalnya.
"Wow, gak nyangka bakal ketemu lo disini." Arde meletakan cup kopinya diatas meja. Pria itu mengernyit menatap beberapa cup yang telah kosong. "Lo minum ini semua?"
Sena mendongak, menatap Arde dengan tatapan sayu. Kedua matanya memerah dan wajahnya nampak kusut.
"Heh, lo kenapa Sen? Sakit?" Arde menempelkan punggung tangannya di dahi Sena. "Ngga panas." Gumamnya.
"Gak apa-apa, mas." Sena menepis lengan Arde sopan. "Lagi pengen ngopi aja." Cengirnya.
Arde meraih sebuah cup yang telah kosong dan membauinya.
"Lo mabok kopi?" Aktor itu menggelengkan kepala. "Bahaya lho minum kopi kebanyakan, apalagi kopi ginian."
Sena menghela napas. Pemuda itu nampak kacau. "Makasih mas udah khawatirin aku." Terkekeh, Sena berdiri dan memakai tas slempangnya. Langkahnya yang oleng membuat Arde refleks memegang tangan Sena.
"Lo bneran baik-baik aja? Oleng gini lho. Gue anterin aja ya? Dimana bos lo? Ada disini juga, kan?"
Sena mengangguk. "Lantai dua belas?" Jawaban yang lebih seperti bertanya itu membuat Arde berdecak. Aktor itu setengah menyeret Sena agar memasuki lift.
"Mas jangan bilang apa-apa ke bosku ya." Sena menyender pada lift dan mengusap rambutnya yang menutupi dahi.
"Emang gue harus bilang apa ke bos lo itu?" Arde menggelengkan kepala, menatap Sena yang bertingkah persis seperti orang mabuk.
Sena memgangkat bahu, memilih memejamkan matanya hingga lift tersebut tiba di lantai tujuan.
Sena berjalan menuju ruang tunggu dengan gontai. Di belakangnya ada Arde dengan segelas cup berisi kopi di tangan.
Wanita itu sudah pergi, Sena hanya mendapati Yohan, Tio dan Risa yang nampaknya menggantikan Olin menjadi penata rias kali ini.
Ketiga pasang mata itu menatap pintu bersamaan, menatap kehadiran Sena dan seorang pria yang berhasil membuat Risa membelalakan matanya.
Sena menyeret sebuah kursi, "Duduk mas Arde." Pemuda itu kemudian duduk di sebelahnya.
"Hai." Arde melambaikan tangan. Pria itu nyengir sebelum menyeruput kopinya. "Lanjutin aja, jangan peduliin gue." Sebuah cengiran di wajah Arde membuat Yohan mendengus. Pria itu bahkan melotot pada Risa yang tak sengaja menyentuh alisnya.
"Hai De, aku Tio. Manajer Yohan." Tio mengulurkan tangan yang segera dibalas oleh Arde.
"Yo, gue Arde. Kebetulan lagi mau ada syuting disini. Tapi kepagian kayaknya sih." Arde menggaruk kepalanya dan tertawa. "Eh gak papa kan gue nunggu disini?"
"Lo udah duduk, masa mau kita usir." Ucapan itu terlantun dari arah Yohan. Terima kasih atas mulut sopannya itu.
Arde terbahak. Ia memang pernah mendengar rumor mengenai sikap Yohan. Tak disangka, pria itu mengetahuinya sendiri seperti ini.
"Oke, anggep aja gue gak ada disini." Arde mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Anggep gue patung juga boleh." Ucapan itu membuat Risa terbahak, yang segera dihadiahi tatapan tajam Yohan.
"Aku boleh merem sebentar?" Sena berucap. Pemuda itu sudah mengambil posisi meringkuk diatas sofa yang memang tersedia. "Lima belas menit." Lanjutnya lagi sebelum suara dengkuran halus mulai terdengar.
"Dia kenapa?" Arde berbisik pada Tio. Aktor itu bahkan menyeret kursinya mendekati si manajer. "Tadi minum kopi banyak banget."
Tio menggeleng. "Ada pikiran, mungkin." Pria itu menatap wajah Sena yang terpejam. "Dia hanya butuh tidur."
"Yo, lima menit lagi standby." Yohan berkacak pinggang. Pria itu sudah rapi dengan pakaian kebangsaannya. Rambutnya yang panjang ia kuncir asal. Namun justru itu yang membuat penampilannya menjadi sangat tampan.
Tio mengangguk dan bergegas menyiapkan seluruh keperluan Yohan. Yohan melirik Sena sekilas sebelum kaki panjangnya melangkah pergi dengan tergesa yang segera diikuti oleh Risa.
"Eh.." Tio nampak kebingungan. Arde yang paham segera menenangkan Tio.
"Tinggal aja Yo, gue jagain. Masih lama sih syutingnya." Arde menatap jam di pergelangan tangannya.
Tio mengehela napas lega. "Titip Sena ya." Tio menyempatkan menatap Sena sebelum benar-benar melangkah pergi.
Arde menatap kepergian Tio dan Sena bergantian. Aktor itu memegang dagunya dan mengerutkan alis.
"Aneh, interaksinya gak biasa." Sebuah kekehan muncul dari sudut bibirnya. "Sepertinya menarik." Aktor itu tersenyum kemudian menyeruput kopinya dalam diam.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika [bxb]
General FictionTerjebak bersama aktor 'palsu' sama sekali bukan tujuan hidup Sena. Boyslove/BL/Fiction ©Byolatte