16. Bingung

1.3K 159 7
                                    

Sena tidak bisa tidur. Meski sudah memejamkan mata dan menghitung domba, tubuhnya seakan menolak untuk tidur.

Sena merenung. Perlakuan Yohan dan ucapan Tio sungguh membuatnya bingung. Pemuda itu seakan mendapat serangan secara bersamaan.

"Sebenarnya apa yang terjadi pada bos dan mas Tio?" Sena bermonolog. Pemuda itu meremas selimutnya gelisah. "Apa mungkin mereka ngerjain aku?" Sena menyentuh bibirnya. "Tapi masa sih ngerjain sampai cium kayak..?" Sena mengerang.

Pemuda itu dilema. Bingung dengan tindakan yang di lakukan oleh kedua orang yang berjasa dalam hidupnya itu.

"Aku harus gimana ngadepin mereka besok?" Sena meringis.

Paginya, lingkaran hitam terlihat jelas di bawah mata Sena. Pemuda itu memijit pelipisnya. Kepalanya pening dan matanya perih, efek tidak tidur semalam.

"Kenapa Sen? Matamu merah lho." Bi Murti bertanya. Sena menggeleng.

"Kurang tidur, bi."

"Lho kenapa tho? Ada pikiran ya?"

"Enggak bi." Cengir Sena. Pemuda itu kemudian membantu bi Murti membuat sarapan.

"Hari ini den Yohan sama mas Tio pergi pagi-pagi sekali. Bibi kira kamu ikut."

Sena mengernyit, seingatnya jadwal hari ini hanya ada di sore hingga malam hari saja.

"Mungkin emang mereka lagi ada perlu, bi." Ucapan Sena dibalas anggukan bi Murti.

"Tadi den Yohan titip pesen sama bibi, bikinin sarapan spesial buat Sena. Jadi bibi bikin versi jumbo."

"Hah?" Sena melongo. Menatap isi piringnya yang menggunung. "Yang ada aku ngantuk pagi-pagi bi, makan segini banyak mah." Ringisnya.

***

"Yo." Yohan melirik Tio yang sedang menatap aliran sungai di bawah sana.

"Hm." Tio menggumam tanpa menoleh. Diajak kemari di pagi hari seperti ini bukanlah kebiasaan Yohan. Pria itu yakin jika sang aktor memiliki maksud lain.

"Perasaan lo masih sama ke Sena?"

Tio menoleh. Menatap Yohan yang memandang lurus ke depan. Rambutnya yang panjang ia kuncir asal. Ia sudah menduga Yohan akan membahas ini, meski Tio tidak mengira akan secepat ini.

"Maksud kamu ngajak aku kesini cuma buat nanyain hal itu?"

Yohan berdecak. Aktor itu menyalakan sebatang rokok dan mulai menikmatinya. "Gue harus." Jawabnya. "Atau gue akan nyesel." Lanjutnya lagi.

"Maksud kamu apa?"

"Lo boleh anggep gue egois atau licik atau apalah, tapi sepertinya gue suka Sena."

Tio tersenyum. Ini dia! Dia sudah menduganya.

"Sepertinya, kan? Artinya kamu belum yakin?"

Yohan menghembuskan asap ke samping kiri. "Gue udah cium dia."

Tio membelalak. Ia menatap Yohan dengan kedua tangan mengepal erat bertumpu pada tembok penyangga jembatan.

"Gue gak bisa nahan Yo. Gue juga.."

"Sena masih kecil, Han."

"Iya gue tau Yo, tapi gue gak bisa nahan."

"Itu bukan alasan Han!" Tio meninggikan nada suaranya. "Lo bisa nakutin dia." Tio mendengus, pria itu bahkan merubah gaya bicaranya. "Dia hanya berniat kerja." Tio menunduk, berusaha meredam amarahnya.

"Terus apa bedanya sama lo?" Yohan tersenyum sinis. "Lo juga ngincer anak itu, kan? Apa bedanya lo sama gue?"

"Jaga ya omongan kamu." Yohan tak pernah mengira jika Tio akan melayangkan pukulan ke pelipisnya. Tidak terlalu keras namun cukup membuat Yohan kaget.

"Hahaha, benar ya kata orang. Marahnya orang pendiem ngeri juga." Yohan meringis. "Oke juga bogeman lo Yo." Yohan menepuk bahu Tio yang masih menatapnya dengan marah.

"Jangan samain aku denganmu. Aku murni sayang sama dia."

"Iya Yo. Gue paham kok." Yohan mengangkat kedua tangannya ke udara, ditatap oleh Tio mode 'marah' begitu agak membuat Yohan takut juga. "Santai bro." Aktor itu merangkul Tio untuk menenangkannya. "Masa gara-gara satu orang lo jadi benci sama gue sih? Cowok lagi orangnya." Yohan tergelak.

Tio menghela napas. "Jangan lakuin hal itu lagi padanya, apa kamu lupa? Kamu itu aktor, aku bisa bayangkan karir yang sudah kamu perjuangkan itu akan sirna dalam sekejap jika semua orang tau kelakuanmu."

Yohan terdiam. Ucapan Tio 100% benar. Bagaimana jika media tahu?

"Maka dari itu, berhati-hatilah." Tio menepuk bahu Yohan sebelum berlalu dengan sepeda motornya.

***

"Mas Tio darimana?" Sena menyapa Tio yang baru memasuki rumah.

"ATM, ambil uang." Pria itu tersenyum.

"Aku kira kalian ninggalin aku. Tapi seinget aku jadwalnya sore deh."

Tio tergelak. Ia mengelus rambut Sena dengan gemas. "Takut banget sih ditinggalin?"

"Bukannya kayak gitu mas, aku takutnya kalian kerepotan gak ada yang bantuin. Gitu kok."

"Iya-iya Senaa." Tio tersenyum menggoda. "Mas laper nih, sarapan udah siap belum?"

"Udah dong, tuh punya mas Tio yang paling banyak." Sena terbahak.

"Haduh, mana bisa ngabisin sebanyak ini." Tio menepuk dahi dan dibalas kekehan dari Bi Murti.

Tepat di belakangnya, Yohan menatap pemandangan itu dengan perasaan campur aduk. Lihatlah, Tio dengan mudahnya mengambil hati semua penghuni rumah. Yohan memandang dirinya sendiri, ia menggeleng dan memilih melewatkan sarapan.

***

"Bos udah siap?"

Tak ada jawaban dari Yohan, pria tinggi itu melewati Sena seolah-olah tak ada siapapun disana.

Sena tertegun, menatap Tio yang mengangkat bahu. Pria itu tersenyum dan agak menyeret Sena.

"Ayo, jangan sampai telat."

Sena memegang dagu. Perlakuan Yohan padanya sungguh berbeda. Ia menatap belakang kepala bosnya itu tajam. Sebenarnya ada apa dengan pria itu? Kenapa justru malah dia yang terkesan menjauhinya?

Bahkan aktor tampan itu menutup pintu mobil dengan kencang saat Sena masih di dalam. Sena tak habis pikir, jika bosnya itu menyesal menciumnya maka kenapa juga dia melakukannya di awal? Pemuda itu merasa kesal.

"Sini setengahnya mas bawain." Ini dia, malaikat tak bersayap yang selalu siap setiap saat. Sena berterima kasih dan setengah berlari mengejar Yohan yang sudah jauh melangkah.

"Lama." Yohan berdecak. Berdiri dengan angkuh di dalam lift.

"Maaf." Sahut Sena. Pemuda itu sibuk merapikan bawaannya sebelum pintu lift hampir tertutup. "Eh mas Tio masih..." ucapan Sena terhenti saat pintu lift tertutup sempurna.

Sena menatap Yohan kesal. Ia benar-benar tak paham dengan sikap dari bosnya itu.

Sena menatap figur tegap Yohan yang berdiri di depannya. Pemuda itu mengelus dada berusaha menenangkan diri.

'Ingat Sena, yang berduit itu yang berkuasa.' Sena menghela napas panjang.

Sena kerepotan mengikuti langkah Yohan. Pemuda itu melangkah terseok-seok dengan kedua lengan yang penuh dengan barang bawaan.

Langkah Yohan terhenti secara tiba-tiba, membuat Sena hampir menabrak punggung bosnya itu.

Sena mengintip dari balik bahu Yohan dan menyadari jika bosnya tengah berhadapan dengan seseorang.

Perempuan cantik itu adalah mantan kekasih bosnya!

TBC

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang