11. Panik

1.6K 275 11
                                    

Tio menyeret Sena menuju tembok yang agak tersembunyi.

"Kamu dan Yohan, apa hal yang terjadi kemarin?" Tio menatap kedua netra Sena yang bergerak-gerak gelisah. "Jawab Sen! Seharian ini Yohan kayaknya sengaja nargetin aku buat ngelakuin hal aneh." Tio menghela napas.

"Tapi mas gak akan marah, kan?" Ini dia! Tio sudah menduga pasti terjadi sesuatu di antara mereka berdua. Sena merengut menatap raut kesal bercampur lelah di wajah sang manajer.

"Aku kemarin cium bos Yohan."

Tio melotot dengan mulut menganga.

"Eits tenang cuma di pipi kok, mas."

"Cuma kamu bilang?" Tio memegang pelipisnya. "Kamu tau kan Yohan paling gak suka didekati? Kenapa kamu bisa cium dia?"

"Aku terpaksa mas, karena bos maksa ngeliat obatnya yang aku sembunyiin." Wajah Sena seperti akan menangis, meringis dengan hidung berkerut. "Tapi itu kejadian dua hari kemarin kok mas."

Tio menatap Sena dengan alis terangkat. "Terus setelah itu ada apa lagi? Aku yakin bukan hanya itu aja kan?"

Sena menelan ludah. Tamat sudah riwayatnya kali ini. Memberanikan diri pemuda itu menatap Tio.

"Aku bilang ke bos kalo aku terbiasa ngelakuin itu sebelum tidur.." Tio menelan ludah, perasaannya tak enak. "..sama mas Tio."

Tio merasa perutnya bergejolak tak nyaman.

"Habis aku bingung mau sebut nama siapa mas! Gak mungkin kan sebut Bi Murti atau Pak Herman? Masa sebut Rangga? Dia kan nggak ada di rumah."

"Tunggu, Rangga siapa?"

"Temenku mas, yang waktu itu liat pameran foto samaku itu loh."

"Skip, gak penting soal Rangga! Yang mau aku tanyain adalah kenapa harus alesan itu Sen? Kamu kan bisa bilang ada noda di pipinya atau apalah. Sampe bawa-bawa namaku, pantes dia bertingkah seharian." Tio menggumam di akhir. "Kepala aku pusing Sen." Tio memegang pelipisnya.

"Eh aku carikan obat ya mas? Biasanya mas Tio minum obat apa?"

"Gausah Sen, aku istirahat dulu ya sebentar. Kamu awasin dulu Yohan."

Sena menatap sosok Tio yang perlahan menjauh.

***

"Napa lo murung?" Yohan menghempaskan tubuhnya di kursi yang tersedia. Olin berada di depannya membubuhkan sedikit riasan pada wajah Yohan.

"Bukan apa-apa. Bos gak usah khawatir."

"Siapa yang khawatir? Jangan ge-er."

Sena merengut, mengumpat dalam hati. Ia merasa bersalah kepada Tio, lagipula kenapa otaknya sangat bodoh hingga menyebutkan alasan konyol seperti itu?

"Kalo lo terus masang wajah kayak gitu mending lo pulang dah!"

"Eh, aku boleh pulang?" Sena agak terkejut.

"Iya. Pulang dan jangan kerja sama gue lagi." Sena menatap Olin yang menahan tawa. Rasanya Sena kesal sekali.

Sena mengambil kipas kecil yang disodorkan Yohan padanya, tanda si tuan muda ingin dikipasi. Pemuda itu setengah hati melakukan pekerjaannya, sesekali menatap ke arah mobil Yohan yang terparkir tak jauh dari lokasi.

"Bos, kayaknya mas Tio sakit deh. Tadi sih dia bilang pusing bos."

"Tio udah gede, bisa ngurus dirinya sendiri." Lagi-lagi Sena dibuat kesal dengan tingkah bosnya. Duduk menyilangkan kaki dengan naskah di pangkuan. Tak lupa ditemani angin sejuk dari kipas yang Sena pegang. Oh enaknya jadi orang berduit.

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang