"Heh." Yohan menyikut bahu Sena yang sedang duduk menatap televisi.
"Iya bos?"
"Nih." Yohan menyerahkan sebuah map yang diterima Sena dengan bingung.
"Apa ini bos?"
"Buka." Sahut Yohan.
Sena membuka map tersebut. Matanya melotot ketika menyadari apa yang tengah berada di tangannya saat ini.
"Sertifkat rumah?! Bos dapet ini darimana?"
Yohan mengangkat bahu. "Tanya Tio, dia cuma nitipin itu ke gue." Pria itu mengalihkan pandangannya.
"Bos bayarin hutang ayah?" Terlihat jelas jika kedua mata Sena berkaca-kaca.
Yohan tertegun, teringat perkataannya yang menjanjikan akan melunasi hutang bocah itu. Yang sayangnya tidak dapat ia tepati.
"Bukan, Tio yang.."
"Makasih bos!" Perkataannya terhenti saat tubuh Sena menerjangnya dengan kencang. Pemuda bertubuh pendek itu memeluknya dan menangis kencang. Yohan menghela napas, membawa jemarinya mengelus rambut si bocah, sedangkan tangan kirinya melingkari pinggang Sena.
"Aku janji gak akan ceroboh lagi, bos." Dalam tangisannya Sena berkata. "Sekali lagi terima kasih bos."
Yohan pasrah, ia tersenyum kecil. Mungkin lain waktu saja ia memberitahukan yang sesungguhnya.
***
"Kamu lagi seneng ya?" Tio menduduki bangku di sebelah Sena, menatap ke arah set dengan Yohan yang sedang berakting. Pria itu tersenyum melihat seringai lebar di wajah Sena.
Sena mengangguk. "Mas Tio inget rumahku, kan?" Tio mengangguk sebagai jawaban. "Bos bayarin hutangku, mas. Terus sertifikat rumahnya juga udah ada di tanganku lagi."
Senyuman Tio seketika menghilang. Ia menatap ke arah Yohan dan Sena bergantian. "Bagus dong, kamu gak perlu pusing mikirin hal itu lagi." Tio memaksa sebuah senyuman di sudut bibirnya. "Mulai sekarang kerja yang bener ya." Tio menarik poni Sena main-main.
"Ow, iya dong mas. Itu mah harus!" Sena menjulurkan lidah, kembali menatap Yohan dengan antusias.
Tio menunduk, menatap ujung sepatunya yang kotor terkena debu dan tanah. Menatap Sena sekilas kemudian pria itu beranjak pergi.
***
Waktu berlalu begitu cepat. Film tersebut sudah dalam proses editing dan sebagainya. Sena pun kini dapat sedikit bernapas lega. Setidaknya jadwal bosnya itu tidak sepadat saat syuting film. Sena baru menyadari menjadi aktor tidak lah semudah yang terlihat.
Sena jarang melihat Tio di rumah, sepertinya kesibukan Yohan berpindah pada Tio, karena pemuda itu selalu terlihat sibuk. Entah dengan petinggi perusahaan ataupun hal lain.
"Mas Tio kemana Bi?" Bi Murti menoleh kemudian melanjutkan membuat sarapan.
"Bibi nggak tahu, Tio pagi-pagi sudah pergi."
Sena mengangguk, lalu menyadari jika Bi Murti tidak akan bisa melihatnya. "Makasih bi." Pemuda itu membuka pintu halaman samping dan duduk di ambangnya, menatap rerumputan hijau yang basah karena embun pagi.
Sena menopang kepalanya dengan telapak tangan, melamun pagi-pagi adalah salah satu hal yang ia sukai. Ditemani bau rerumputan segar dan angin sejuk menambah Sena semakin terbuai dengan lamunannya, entah sampai berapa lama.
"Sen. Masuk sini." Suara tersebut membuat Sena menoleh. Ia mendapati Tio, lengkap dengan jaket tipis membalut tubuhnya.
"Mas Tio darimana?" Sena tak dapat menahan rasa penasarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika [bxb]
General FictionTerjebak bersama aktor 'palsu' sama sekali bukan tujuan hidup Sena. Boyslove/BL/Fiction ©Byolatte