10. Kiss

2.1K 285 24
                                    

"Sebenarnya ada apa dengan Yohan, mas?" Sena dan Tio kini berada di halaman samping dapur, menatap langit tak berbintang.

"Sebelum aku jawab pertanyaanmu itu aku mau bilang terima kasih, aku belum pernah melihat Yohan kembali normal secepat itu." Sena menatap Tio dengan tatapan bingung.

Tio menatap pintu di belakang mereka yang terbuka. Ia menutup dan menguncinya dari luar. Sepertinya obrolan mereka sedikit serius.

"Aku pernah bilang kan kita berdua berasal dari panti?" Sena mengangguk. "Panti tempat aku tinggal sampai delapan belas tahun itu adalah panti keduaku." Tio menghela napas. "Yohan juga berada disana hingga umurnya tujuh tahun. Sebelumnya kami berada di panti A, namun sayang ada musibah yang mengharuskan kami pindah."

"Musibah?" Sena menatap Tio lekat, menunggu kelanjutannya.

Tio mengangguk. "Kebakaran. Lebih tepatnya ada yang sengaja membakar, karena panti itu berada di tanah sengketa."

Sena menganga, tak menyangka jika hal seperti ini terjadi pada mereka berdua.

"Aku saat itu sedang tidak berada di dalam, dan sudah di selamatkan oleh warga, sedangkan Yohan." Tio menghentikan ucapannya. "Ia terjebak di dalam kamar, bersama suster pengasuh kami. Anak sekecil itu harus menyaksikan suster yang selama ini menjadi ibu dan teman bermain kami terpanggang hidup-hidup di dalam kamar."

Sena meremas celana tidurnya. Matanya berkaca-kaca, menatap Tio dengan raut wajah shock.

"Yohan selamat karena suster itu menyelimutinya dengan selimut yang dibasahi air bekas pel-an. Saat itu memang giliran Yohan yang mengepel kamar." Tio menunduk, kedua tangannya yang mengepal gemetar. Sena memegang tangan Tio, berusaha memberi kekuatan.

"Sejak saat itu, setiap melihat kobaran api Yohan akan.. Yah seperti yang kamu lihat tadi." Tio menatap Sena yang entah sejak kapan sudah duduk merapat padanya. "Aku gak yakin tadi di adegan terakhir. Memang api itu berada lumayan jauh dengannya, tapi dengan kobaran sebesar itu Yohan jadi teringat kejadian di masa lalu. Aku sudah berkali-kali meyakinkan Yohan, bahkan aku mengusulkan untuk memotong adegan itu namun Yohan bersikeras memaksa dan yah.." Suara Tio perlahan melemah. "Aku gagal melindungi dia, Sen."

"Mas Tio nggak gagal. Mas Tio hebat udah menjaga Yohan sampai saat ini." Sena menyadari jika tangannya masih menggenggam tangan Tio. "Maaf." Pekiknya.

Tio terkekeh, mengusap rambut lurus Sena. "Yang mau aku katakan adalah, bantu aku ya. Bantu jagain Yohan. Aku bakal kasih obat itu ke kamu buat jaga-jaga saja. Yohan selalu meninggalkan benda itu di rumah karena ia sendiri benci dengan traumanya itu."

Sena mengangguk-angguk. "Serahkan saja padaku mas." Sena menepuk dadanya. "Mas Tio sendiri, apakah trauma juga?"

Tio menghela napas. "Dulu iya, sekarang aku berusaha menerima kejadian itu. Meski susaaah sekali. Dulu bahkan aku gak sanggup buat nyalain kompor." Tio terkekeh. "Ngerokok pun baru sanggup belakangan ini."

Sena tersenyum, membayangkan pria seperti Tio yang ketakutan menyalakan kompor. "Eh, tapi bos juga ngerokok kan nyalain korek mas?"

"Yohan hanya akan bereaksi saat menatap kobaran api yang besar. Dia tidak masalah dengan api kecil." Sena mengangguk-angguk paham. "Ngomong-ngomong, badan kamu anget ya Sen?" Tio mengulum senyum.

Sena yang menyadari tubuhnya menempel pada Tio refleks menjauh dan "Waaa...." Pemuda itu kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh terjerembab jika saja Tio tak memegang tangannya.

"Kamu masih ceroboh ya." Tio terbahak. "Hampir saja wajahmu itu kena tanah."

"Heheh." Sena nyengir, menggaruk pipinya salah tingkah.

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang