Yohan memasuki bar dengan langkah gontai. Ia sudah menghubungi Tio dan memutuskan tidak akan pulang malam ini. Entahlah, rasanya pikirannya sedang kacau. Ia menyulut sebatang rokok sesaat setelah duduk di depan bartender.
"Tumben sendiri?" Sapaan itu terdengar dari seorang pria yang asyik meracik minuman. Yohan mendengus tanpa menjawab sepatah kata pun.
"Gak takut ada yang foto?" Pria itu kembali menggodanya, Yohan mengangkat bahu tanda tak peduli. Yang ia inginkan saat ini hanyalah kesenangan.
Yohan memilih tempat paling sudut, ia sedang tidak ingin berbasa basi dengan siapa pun. Di meja sudah terdapat sebotol minuman dengan kadar alkohol cukup tinggi. Yohan meringis, menatap sebotol minuman itu dengan tak yakin, namun sesaat kemudian ia menuangkan cairan memabukkan tersebut ke dalam gelas. Tak peduli dengan esok hari. Biarlah hari ini ia merasakan kesenangan yang fana.
***
"Masuk Sen. Udah malem loh. Jam berapa ini?" Tio terkejut mendapati Sena tengah asyik melamun di halaman samping. Ia melirik jam di handphone dan menyadari waktu sudah melewati tengah malam.
"Aku gerah mas." Sena hanya nyengir, sama sekali tidak beranjak dari duduknya.
"Angin malam gak bagus buat tubuh Sen. Nanti kamu sakit lagi." Tio pun memilih duduk di samping Sena.
"Gak apa-apa mas. Sekali ini aja kok." Sena menumpukan dagunya pada lutut.
"Kamu lagi ada pikiran ya?"
Sena menatap Tio. Bosnya satu ini memang paling peka dan pengertian. Pemuda itu menggeleng, sekilas kejadian sore tadi melintas di ingatannya. Sena merubah posisi duduknya menjadi tegap.
"Boleh aku tanya sesuatu, mas?"
Tio mengangguk sebagai jawaban, pria itu juga jadi merubah posisi duduknya secara refleks.
"Apa bener Mas Tio yang lunasin hutang ayahku?"
Tio terdiam selama beberapa detik, pria itu hanya menatap Sena sebelum menjawab dengan anggukan.
"Kenapa mas Tio gak bilang? Selama ini aku ngira bos lah yang lunasin hutang ayah." Sena menghela napas. Pemuda itu tertunduk dengan raut wajah sedih. "Aku bahkan gak ngucapin terima kasih ke mas Tio."
"Gak papa Sen." Tio menepuk pundak Sena. "Aku ataupun Yohan, toh sama saja kan?" Tio mengusap pundak kurus itu.
"Tapi, harusnya aku berterima kasih sama mas Tio." Sena menatap Sena dengan alis mengerut. "Aku bilang sekarang gak papa?"
Tio tergelak. Merasa gemas dengan tingkah Sena. "Kapanpun boleh, nggak ada expirednya." Cengirnya.
"Terima kasih, Mas." Ucap Sena tulus. "Harus dengan apa aku membalas kebaikan Mas Tio?"
Tio tersenyum. "Heh, jangan mikir kayak gitu. Aku sama sekali ikhlas dan gak mengharap imbalan apa-apa dari kamu." Balasnya.
"Tapi mas, sekecil apapun kebaikan itu tetep harus aku balas mas. Tidak harus berupa materi, kan?"
Tio tertawa. "Terserah kamu aja Sen. Yang penting mas ikhlas ya, gak ngarep apa-apa dari kamu."
"Siiip." Sena mengangkat jempol. "Soal itu belum aku pikirin sih mas." Cengirnya. "Mungkin nanti kalau mas Tio butuh sesuatu bisa minta bantuanku." Sena menepuk dadanya.
Tio mengangguk. "Iya Sena. Sekarang masuk gih. Udah hampir jam dua loh ini." Ucapnya setelah mengecek layar handphone.
Sena menurut dan obrolan keduanya berakhir disini.
***
Yohan memasuki rumah dengan gontai. Kepalanya pening luar biasa. Tertidur dengan kondisi mabuk di bar bukanlah hal yang bagus. Pandangannya kabur, ia menggelengkan kepala berharap dapat melihat dengan jelas namun yang ia dapatkan hanyalah seisi rumah yang bergoyang.
Dengan tertatih ia menyusuri dinding untuk dapat sampai ke kamarnya. Yohan berantakan, rambut yang mencuat ke segala arah dan wajah merah karna mabuk dan kurang tidur. Diam-diam ia menyesali minuman beralkohol yang ia minum kemarin. Masih untung ia tidak mati saat itu juga.
Yohan menabrak sesuatu hingga ia oleng dan hampir terjatuh namun sepasang tangan menahan tubuh besarnya.
"Bos kenapa?"
Suara halus itu. Yohan mengerjap dan mendapati sepasang mata hitam menatapnya dengan khawatir. Ia berusaha memfokuskan pandangan namun pria itu kesulitan. Ia menggeleng sambil tersenyum pada Sena.
"Aku papah ke kamar ya bos?" Tanpa menunggu jawaban, Sena setengah menyeret tubuh besar bosnya itu menuju kamar. Rambut Yohan yang agak panjang terasa menusuk wajah Sena karena Pria itu hampir bersandar sepenuhnya pada sang asisten.
Perjalanan yang terasa berat bagi Sena itu berakhir jua. Ia setengah membanting tubuh besar Yohan pada tempat tidur. Sena melepas sepatu dan menaruhnya di sisi tempat tidur. Setelah yakin posisi tidur bosnya itu nyaman pemuda itu pun meninggalkannya setelah menutup pintu.
Sena berpapasan dengan Tio tepat di depan kamar Yohan.
"Sepertinya mas harus batalin semua jadwal bos hari ini. Dia mabuk berat." Tio melotot dan mengintip Yohan yang telah tertidur bahkan mendengkur keras. Pria itu menghela napas dan menepuk pundak Sena.
"Extra satu hari libur buat kita." Ucapannya membuat Sena tergelak.
***
Hari-hari berlangsung seperti biasa bagi Tio. Namun tidak bagi Yohan. Aktor itu merasa jika Sena tidak mengacuhkannya. Pemuda itu tetap menyiapkan kebutuhannya seperti biasa namun tidak ada sapaan ataupun raut wajah cerah seperti hari-hari lalu. Yohan bahkan belum mendengar suara pemuda kurus itu sedari pagi.
Yohan berdecak, Tio yang tengah memasang earphone dan peralatan lainnya menatapnya bingung. Hari ini jadwal Yohan menyanyi di acara pencarian bakat. Menjadi bintang tamu utama membuat Yohan sangat menantikan penampilan ini. Ia akan tampil dengan baik, sehingga popularitasnya semakin meroket. Tujuannya adalah menjadi bintang nomor satu di negeri ini.
"Good luck!" Tio menyemangatinya sebelum naik ke pentas.
***
"Bos lo keren juga ya." Sena menatap Risa yang asyik menghisap rokok di sampingnya. Mereka berdua tengah menyaksikan penampilan Yohan melalui layar besar yang terpasang di ruang tunggu.
Sena menghela napas panjang. Mau menyangkal, tapi memang begitulah keadaannya. Ia hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Lo masih betah kerja sama dia?" Wanita itu bertanya tanpa menoleh.
"Aku gak tahu kak. Tapi mau ninggalin kerjaan ini rasanya berat, lebih ke gak mau ninggalin mas Tio sih."
"Wow." Risa meletakan puntung rokok di atas asbak. "Apa ada sesuatu diantara kalian?" Sepertinya wanita itu agak tertarik.
"Mas Tio lunasin hutang ayah, kak."
"Serius?" Risa mengelus dagunya yang runcing. "Lo udah nanya atas dasar apa dia bayarin hutang lo itu?"
"Yang aku tahu mas Tio orang baik, kak. Hanya itu." Ucapan Sena membuat Risa tersenyum. Wanita itu menarik pipi Sena dengan jemarinya yang lentik.
"Lo itu imut banget ya? Gemesin." Ucapan Risa membuat Sena tergelak.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Senandika [bxb]
General FictionTerjebak bersama aktor 'palsu' sama sekali bukan tujuan hidup Sena. Boyslove/BL/Fiction ©Byolatte