09. Trauma?

1.5K 289 25
                                    

Sudah seminggu ini Yohan seakan tak mau lepas dariku. Bahkan Tio pun keheranan. Mengajakku ke semua acaranya, berbelanja, bahkan ia rela menyetir denganku sebagai petunjuk jalan.

Luka di pipiku sudah sepenuhnya sembuh. Menyisakan satu goresan tipis yang hampir tak terlihat. Aku bahkan sudah melepas plester itu dari wajahku.

"Sen, lo ikut gue. Siapin semua keperluan yang udah gue tempel di kulkas." Dengan tergesa ku lahap sarapanku dan memandang pintu kulkas yang tertempel sticky note.

"Aku aja yang siapin, kamu kelarin sarapan dulu." Tio dengan baik hatinya menawarkan diri. Aku mengangkat jempol dengan senang dan kembali melanjutkan sarapanku.

Yohan berkacak pinggang menatap padaku dan Tio yang sibuk berlalu lalang. Ia menggelengkan kepala dan menatapku dari dekat.

"Lo sarapan atau makan siang? Porsinya banyak banget?" Cibirnya. Aku mengangkat bahu dan kembali sibuk dengan sarapan porsi kuliku ini. Masa bodoh, yang penting aku tidak akan kelaparan sampai siang.

"Iri? Bilang bos!" Aku menjulurkan lidah. Yohan meremas rambut depanku hingga aku memekik kaget.

"Han, jangan digangguin Senanya. Lagi sarapan gak baik." Suara Tio samar-samar terdengar.

"Tuh denger apa kata mas Tio." Aku menepuk dada merasa menang. Yohan balas melotot dengan wajah seram.

"Awas lo gue kerjain entar!" Balasnya. Aku terkekeh, mengunyah suapan terakhir dan meminum segelas air. Ahh, kenyangnya!

"Yo, lu gak usah ikut ya. Pak Herman juga." Yohan memakai topi hitamnya dan menarik lenganku. Aku yang tengah memakai jaket jadi agak terseret.

"Lelet amat sih lo, yang artis gue apa elo sih!" Aku nyengir dan berpamitan pada Tio. Mau disindir seperti apapun aku tak akan sakit hati lagi sekarang.

"Bos, minggu depan udah mulai syuting film ya?" Aku memecahkan keheningan yang tercipta diantara kami.

"Hemm." Yohan hanya balas menggumam.

"Genre filmnya apa bos? Boleh kasih bocoran?"

"Kagak!" Yohan menjawab ketus. "Nanti lo ember lagi sama temen lo sapa tuh tukang poto."

"Rangga?" Aku tertawa. Darimana Yohan tahu tentang Rangga ya? "Enggak lah bos, aku kan pingin tahu aja."

"Tar juga lo tahu pas gue syuting." Yohan semakin membuatku penasaran.

"Ada adegan anu nya gak bos?"

Ckiit! Mobil berhenti mendadak. Yohan menatap ke depan dengan kaget. Ia menoleh padaku dan memasang wajah masam. Ia kembali melajukan kendaraan dengan tenang.

"Lo belum cukup umur ngomongin hal gituan." Yohan berucap.

"Diliat dari reaksi bos kayaknya ada ya bos?" Aku terkekeh. Tak sabar melihat bosku yang jutek dan galak ini beradegan mesra dengan lawan mainnya.

"Lo jangan keseringan nonton sinetronnya si Arde." Aku merasakan sebuah toyoran pelan di keningku. "Sinetron kok banyak adegan dewasanya." Lanjutnya lagi.

Aku mengangguk-angguk. Setelah mengenal Arde, aku memang menyempatkan diri menonton hasil karyanya itu, dan Yohan tidak sepenuhnya salah. Mungkin itulah alasan Arde menjadi idola para kaum ibu dan remaja baru gede.

"Tapi kan tayangnya juga malem bos, dan adegannya juga gak kentara sih. Banyak sensornya juga." Aku terdiam sejenak. "Kalo film kan nggak disensor." Aku kembali menggoda Yohan. "Lawan main bos siapa namanya? Aku mau googling." Kekehku.

"Lo berisik tau gak? Mau gue sumpel pake tissue, hah?"

Aku mengkerut, tapi diam-diam terkekeh dan mulai mencari artikel mengenai film baru Yohan yang sayangnya belum banyak kutemukan info disana.

Senandika [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang