CHAPTER 19

5.6K 411 4
                                    

Happy Reading!

***

Seseorang tidak akan pernah menyesal akan perbuatannya di masa lalu jika dirinya belum pernah merasa tersakiti. Itu Amel. Alena mendefinisikan Amel seperti itu. Jika saja Papa tidak membuat keluarga Amel hancur, jika saja Papa Amel tidak kabur meninggalkan dia dan Ibunya yang sakit kanker. Jika saja sampai saat ini keluarga Amel masih baik-baik saja. Pasti kelakuan cewek itu akan sama seperti dulu, tidak akan pernah berubah sebelum dia sendiri merasa tersakiti. Alena berani jamin hal itu.

Kepala Alena geleng-geleng pelan. Bingung sebenarnya, saat ia membully Amel, kenapa gadis itu sangat merasa tersakiti, seolah dia perempuan paling tersakiti sedunia.

Alena berdecak pelan. Seharusnya ia yang nangis-nangis merasa tersakiti. Jika dibandingkan dengan Amel, penderitaannya dulu lebih parah. Alena itu anak yatim piatu. Ibunya meninggal saat melahirkannya, bapaknya entah kemana dia, Alena tidak peduli juga. Sedari bayi ia tinggal di panti asuhan. Seharusnya seorang anak di umur segitu diberikan kasih sayang yang cukup, tetapi apa? Saat Alena umur empat tahun saja sudah menjadi babu panti. Belum lagi di TK Mahrani ia selalu di ejek. Tidak ada yang mau berteman dengan gadis buruk rupa seperti Alena. Ingin rasanya keluar saja dari sekolah, tetapi Alena sudah memikirkan kedepannya. Alena tidak punya apa-apa dulu, biaya sekolah saja masih untung dibayarin oleh Ibu panti, setelah di kasih itu ia malah memilih keluar? Tidak, uangnya akan sayang jika ia tidak lulus dari TK.

Hinaan sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Alena. Setiap ia datang ke sekolah pun langsung disambut dengan hal-hal yang membuat sakit hati. Ada yang mengatainya anak haram, anak babi buruk rupa, dan sebagainya. Untuk anak diusia 5 tahun sudah harus mendengarkan hinaan seperti itu. Hanya karena ia terlahir jelek, memangnya itu salah?

Hanya satu orang yang tidak ikut mengatainya dulu, bahkan orang itu sering membantunya jika yang lain menyakiti fisik Alena. Saat itu Alena lupa siapa orangnya, tetapi sekarang ia sudah ingat, itu Svetla. Svetla yang tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, kalau menurut dia itu mengganggunya, maka akan Svetla hajar, tapi kalau tidak ya biarkan saja, bukan urusannya.

Alena menghela napas berat. Ia tahu alasan Amel yang sangat berambisi untuk menjadi anak Beasiswa nomor satu. Dengan menjadi anak Beasiswa nomor satu, seluruh biaya sekolah akan ditanggung, bahkan bisa saja biaya kuliahnya nanti gratis juga. Biarpun keluarga Amel orang berada, Papa Amel tidak suka dengan anak bodoh yang hanya mengandalkan uang. Papanya memaksa Amel untuk menjadi anak Beasiswa nomor satu, dengan begitu Papanya tidak akan malu memperkenalkan anaknya yang cerdas. Dengan paksaan Papanya, Amel melakukan apa saja, termasuk menyingkirkan Jia.

Miris sekali. Kenapa mereka bisanya hanya memaksa? Tidak tahu kalau kemampuan setiap anak berbeda. Tidak tahu akibat dari paksaanya bisa membuat orang lain kehilangan nyawa.

Saat ini Alena sedang berada di rooftop sekolah. Tempat ternyaman untuk menenangkan diri, ditambah dengan melihat pemandangan kota yang terlihat dari atas sini.

Alena mengeluarkan bungkus rokok dari sakunya. Ia mengambil satu batang, menyelipkannya di bibir cantik miliknya. Belum saja Alena menyalakan rokoknya, seseorang sudah lebih dulu merampas korek miliknya. Rokok yang terselip di bibirnya diambil oleh seseorang, lalu dipatahkan begitu saja.

Alena mendengus sebal. Ia memutar bola matanya jengah.

"Kalau mau bilang aja, jangan larang-larang gue segala." Ujar Alena ketus.

"Gak baik Al. Lo cewek kalau lo lupa."

"Ganggu banget lo."

"Lo ngapain di rooftop sendirian?" Devn menoleh ke arah Alena, wajah cowok itu seperti menduga-duga sesuatu. "Lo gak ada niat buat terjun dari rooftop kan?"

SVETLARION (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang