Aku menatap nanar keadaan di sekelilingku. Harry sepertinya menyadari bahwa akan ada air yang jatuh dari mataku sehingga dia langsung memapahku untuk duduk di rumput yang begitu hijau.
Setelah duduk aku langsung menangis sambil memeluknya. Dia pun memelukku balik. Pelukkan terhangat yang pernah dia berikan padaku. Dia mengusap punggungku dengan lembut sambil bergumam di depan telingaku tapi tidak bergitu terdengar.
Setelah berhasil menguasai emosiku, aku melepaskan pelukannya. Lalu kutaruh kepalaku di pahanya. Untuk beberapa menit kita hanya membisu. Hanya memandangi bunga yang jatuh berguguran. Tapi inilah yang membuatku menikmatinya. Berdua dengannya tanpa berkata-kata menimbulkan efek menenangkan yang sangat hebat. Akhirnya dia yang memecah keheningan.
"Kamu ingat gak gimana pertama kali kita bertemu?" tanya dia yang mulai memainkan rambutku.
"Never in my life i forget those beautiful memories, even a second."
Masih hangat dan akan selalu hangat di ingatanku tentang kejadian itu. Tepatnya 10 tahun yang lalu.
15th January, 2005
Seperti biasa, tiap bulan aku selalu berkunjung ke makam Mommy and Daddy, waktu itu kami (Aku, Zayn, dan Louis) berkunjung tepat pada hari ulang tahunku yang ke 8. Aku merengek pada Louis karena Mommy tidak mengucapkan Happy Birthday padaku seperti biasanya yang ia lakukan di mimpiku. Tapi tahun itu tidak. Mommy bahkan tak pernah mengunjungiku dalam mimpi. Akhirnya aku lari sambil menangis menuju taman dekat pemakaman.
Lalu aku menaiki ayunan sambil berteriak pada Tuhan mengapa Tuhan sebegitu jahatnya mengambil Mommy dariku secepat ini. Ntah darimana datangnya, tiba-tiba datang anak kecil berambut keriting menghampiriku.
"Kenapa kau menangis?" tanya anak kecil itu polos.
"My mom didn't say happy birthday to me."
"Kalau aku ngucapin happy birthday padamu, gimana? Kau mau berhenti menangis gak?"
"Mungkin...."
"Okay, so happy birthday girl! I wish I could say this to you every year so I don't have to see the tears stream down your face again."
Jane kecil melihat tingkah laku cowok keriting ini langsung berhenti menangis.
"Nah begitu dong! Oh iya namaku Harry Styles. Rumahku di sekitar sini lho." dia memberitahuku terlalu banyak informasi tentangnya, padahal aku tidak bertanya apapun.
"Namaku Jane, Jane Malik. Harry, sepertinya mommy kamu memanggilmu."
Dia membalikkan badan dan memberi tanda bahwa dia akan kembali secepatnya.
"I think I should go now. See you next year!.... Or maybe soon!" dia tersenyum sampai lesung di pipinya tampak jelas dan berlari menuju ibunya.
Beberapa minggu kemudian aku akhirnya tahu dimana rumahnya. Kami begitu dekat. Hingga suatu saat ketika kami sudah menginjak umur 15, dia menyatakan perasaannya padaku. Jawaban dariku, tentu saja ya. He was too hard to get rejected.
***
"Kau ingat betapa lucunya aku kecil yang sangat polos itu?"
Aku mencubit hidungnya.
"Polos? Aku tak pernah berpikir kau pernah polos, bahkan saat kau mengucapkan ulang tahun kepada gadis yang bahkan tak kau kenal!" aku tertawa. Tapi benar, dia itu sama sekali tidak sepolos yang ku kira.
Dia langsung mendekatkan mukanya padaku, dan meletakkan bibirnya padaku dengan lembut. Aku membalas ciumannya. Lalu dia mengangkat bibirnya dari bibirku dan mulai menatap mataku dalam. His green eyes always makes me weak. Lalu dia mencium keningku lembut.
"Cmon, babe. You have to go now or Louis will kick my ass."
Aku tertawa mendengar candaannya. Aku pun bangkit dari kakinya dan membantu Harry untuk bangun. Kami pulang ke rumah dengan saling menggenggam tangan. I thought I could not make long distance relationship. But with Hazza? Maybe it's not that hard.
***
Kalau suka vomments ya guys!!! :)) (but actually still I think no one will read this...)
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Late? » Harry » Niall »
Fanfiction[Book 1] When you have to choose the one who always right beside you then left, or the one who left you then make a promise to always right beside you. ⬛⬛⬛ Copyright © 2015 by malikryptonite