[Jane's POV]
"Lho, bukannya mereka kemarin itu baru anniversary?"
"I know right, I think they are having a problem. Aku ingat sekali hari itu sepulangnya dari luar, ia langsung pergi ke kamarnya dan menangis saat itu juga."
Suara mereka mulai terdengar jelas di telingaku sekarang. Akhirnya aku berhasil membuka kelopak mata yang berat ini setelah beberapa menit bersusah payah melakukannya.
"Zouis...." aku bisa mendengar betapa paraunya suaraku sekarang. Dan karena aku tidak mempunyai banyak tenaga untuk berbicara, aku lebih memilih memanggil gabungan nama mereka daripada terpisah.
"Are you okay, babe?" tanya Louis.
Aku diam sesaat. Setelah kejadian tadi pagi, rasanya bodoh sekali kalau aku masih bersikeras untuk menyimpan masalah-masalah ini sendiri.
Akhirnya ku putuskan untuk menggelengkan kepala.
Alih-alih menanyakan apa yang terjadi padaku, Louis malah menyuapiku dengan bubur yang masih hangat. Sedangkan Zayn memijit kakiku.
"Sebelum kau ceritakan semuanya pada kita, kau harus memberi makan pada cacing-cacing di perutmu itu. Mereka berisik sedari tadi." ujar Louis sambil menyuapkan bubur ke mulutku.
Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan satu mangkuk bubur, karena aku benar-benar kelaparan.
"Jadi, bagaimana ceritanya?" akhirnya Zayn bertanya.
Pun, aku menceritakan semuanya mulai dari awal. Bagaimana aku memergoki Harry dan Sam berciuman di kafe sialan itu, lalu bagian Niall yang memberitahu Liam tentang semua ini.
"Why the fuck he was being such an asshole?! I should've known that he's jerk." Zayn memaki Harry dengan menggebu-gebu. Perasaanku saja atau Zayn mulai membenci Harry semenjak aku berkenalan dengan Niall?
Louis masih tak percaya akan kejadian yang ku ceritakan. Walau terpaut usia yang lumayan jauh, Louis bisa dibilang dekat dengan Harry. Ia sangat mendukung hubunganku dengan Harry.
"Tinggalkan saja dia, Jane. Dia tak pantas memilikimu." ucap Zayn.
"Okay, lupakan soal Harry. Tapi bagaimana kau bisa berada di makam Mom di pagi hari, Jane? Maksudku, dimana Niall? Kata Zayn, kau menginap di rumah Niall. Apa kau ada masalah juga dengannya?"
Hatiku mencelos mendengar pertanyaan Louis. Bagaimana dia tahu bahwa aku ada masalah dengan Niall?
Mau tak mau, aku menceritakan tentang Niall kepada Zayn dan Louis. Iya, aku menceritakan semuanya dari awal. Dari kejadian ketika aku mengenalnya di summer camp 13 tahun yang lalu.
Kali ini aku sudah tak kuasa menahan tangis di depan mereka. Aku tetap bercerita, namun sambil menangis. Zayn dan Louis dengan sabar mendengar ceritaku. Zayn bahkan sedari tadi mengusap-usap rambutku yang membuat aku merasa lebih baik.
"Coba saja mom dan dad tidak menaiki pesawat itu. Mungkin aku sekarang gadis terbahagia di dunia ini. Setidaknya, aku tak harus mengikuti summer camp tiap tahun dan terhindar dari perkenalanku dengan si tukang-pemberi-janji-palsu itu. Setidaknya, aku tak harus datang ke pemakaman dan aku yakin aku takkan mengenal si bajingan-berambut-keriting itu."
aku menarik-narik rambutku sendiri sambil menangis, frustasi dengan semua kenyataan ini. Zayn memelukku, berusaha menenangkanku.Louis akhirnya angkat bicara. Ia memegang bahuku, tatapannya memberi isyarat agar aku menatap matanya.
"Jane, my little sister, listen to me. Kau tak boleh berkata seperti itu. Ini semua takdir Tuhan, dibalik semua ini Dia punya maksud yang baik untukmu, untuk kita. Kalau mom dan dad tak pergi meninggalkan kita pun, belum tentu kehidupan kita lebih baik daripada sekarang." Louis menasehatiku, tatapannya agak keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Late? » Harry » Niall »
Fanfic[Book 1] When you have to choose the one who always right beside you then left, or the one who left you then make a promise to always right beside you. ⬛⬛⬛ Copyright © 2015 by malikryptonite