"Hazza kemarin masuk rumah sakit, Jane." sahut Anne lirih.
Apa? Harry sakit? Bagaimana bisa aku tidak tahu? Pacar macam apa aku ini? Betapa bodohnya aku meninggalkan dia tiba-tiba.
"Jane, don't blame yourself. It's not your fault. I wanted to tell you, but Hazza wouldn't let me." ucap Anne menenangkan.
"Aku akan secepatnya kesana, Mom Anne. Bye, Mom Anne!"
Aku langsung menutup panggilan tanpa menunggu jawaban dari Anne. Aku mencari tas kecilku dan memasukkan barang-barang yang penting ke dalamnya.
Aku langsung mengunci pintu depan rumah. Untung masing-masing dari kami sudah memegang kunci rumah ini.
Aku berlari menuju halte yang berada tak jauh dari rumahku. Baru saja aku hendak duduk, tapi bus sudah terlihat dari kejauhan. Thanks God.
Bus akhirnya berhenti. Lalu, aku masuk ke dalamnya. Aku langsung memilih bangku paling depan agar lebih mudah.
Selama di perjalanan aku tak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi rasa bersalah. Harusnya aku tak pergi secepat ini. Wajar Harry sakit, mungkin dia juga belum siap menerima kepergianku.
2 jam berlalu. Akhirnya sampai juga di halte Doncaster. Aku langsung keluar dari bus dan berlari menghiraukan orang-orang yang tampak heran melihatku.
Sekarang aku sudah berada di depan gerbang rumah Harry. Perlahan aku membuka gerbang rumahnya lalu mengetuk pintu rumahnya.
Pintu pun terbuka. Tampak gadis cantik tersenyum melihat kedatanganku. Aku pun langsung memeluknya. Hampir meneteskan air mata.
"Aku merasa ini semua salahku, Gemm." isakku, lirih.
"Jangan seperti itu. Lebih baik kau sekarang ke kamarnya. Dia baru kembali dari rumah sakit tadi pagi."
Aku pun langsung melepas pelukan Gemma. Berjalan menuju kamar Harry bahkan terasa lama saat keadaan seperti ini.
Knock knock knock.
"Come in." ucap Harry pelan.
Aku membuka pintu kamarnya perlahan. Ia masih memejamkan matanya. Aku putuskan untuk duduk di sebelahnya.
"Maafkan aku, Hazz. Ini semua salahku. Aku memang bodoh. Maafkan aku, Hazz. Maaf..." bisikku di telinga Harry.
Harry tetap bergeming di kasurnya. Apakah dia benar-benar marah padaku? Oh my Hazza.... sorry.
Tiba-tiba tangannya menarik badanku hingga jatuh ke pelukannya. Aku balas memeluknya.
"Sorry, babe. This is my fault." aku mulai menangis pelan.
"Yeah, this is your fault babe. Sekarang kau harus membayarnya." bisiknya di telingaku.
"What should I do?"
"Tetaplah dalam posisi ini selama yang aku mau." lalu Harry mengecup keningku sambil tersenyum.
Aku melepaskan pelukannya lalu memukul lengannya.
Dia meringis kesakitan. Tapi dimples-nya tetap terlihat di pipinya.
"Kau ini memanfaatkan keadaan saja." kataku sambil mencibir ke arahnya.
Dia langsung memelukku lagi. Seberapa sebalnya aku padanya, tetap saja aku membalas pelukannya. You can see how much I love him...
"Dengan siapa kau kesini, Janey?" tanya Harry yang mengagetkanku.
"Sendiri dong, aku kan cewek mandiri!" jawabku.
Tiba-tiba aku teringat Louis. Astaga! Aku lupa memberi tahu padanya kalau aku ingin menjenguk Harry.
Aku langsung mengeluarkan handphone-ku dan melihat jam. It's already 7.30 pm. Ada 5 pesan masuk dan 5 panggilan tak terjawab dari Louis. Saat itu juga aku langsung menelpon Louis.
"Lou, maafkan aku. Aku lupa memberi tahumu jika aku sedang menjenguk Hazza yang sakit di Doncaster." ucapku pelan. Aku takut dia marah padaku.
Hening.
"Ya, aku sudah tahu dari Gemma. Sekarang Zayn sudah di jalan untuk menjemputmu."
"Hm.... okay. See you later Lou!" aku langsung mematikan panggilannya.
Mungkin di telepon dia tidak marah. Namun jika jika aku sudah di rumah, matilah aku.
"Kau mau ke London malam ini juga?" tanya Harry.
Aku mengangguk. Aku pun memeluk Harry yang sekarang sudah duduk di kasurnya sambil menggumamkan kata maaf.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari luar. Nampaknya, Zayn sudah sampai.
"Sebelum kau pergi, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Harry.
Aku hanya mengangguk.
"Kau pasti mau aku sembuh kan? Kau tahu apa yang bisa membuatku sembuh? Ciuman di sini." ujarnya polos. Dan muka memelasnya pun mucul di hadapanku. Kalau sudah begini, aku tak kuat.
Akhirnya aku mencium bibirnya. Tak lama, tapi hangat.
"I have to go now. I love you, Hazz!"
"I love you, much much more my Janey! See ya!"
Aku memeluknya untuk terakhir kali lalu bergegas keluar dari kamarnya.
Ku lihat Zayn sedang mengobrol dengan Anne dan Gemma.
Aku hanya mematung, menunggu salah satu dari mereka menyadari keberadaanku.
"Aku rasa kita harus pergi sekarang. Trims ya, Anne, Gemma sudah mau menerima adikku yang kadang merepotkan.." ucap Zayn pada Anne dan Gemma.
Anne dan Gemma tertawa mendengar ucapannya. Aku hanya memberi death stare pada Zayn. Ku rasa aku tak merepotkan siapapun.
Akhirnya setelah pamit dengan Anne dan Gemma, aku dan Zayn pulang.
Baru saja perjalanan 10 menit, aku sudah menguap berkali-kali. Aku merasa sangat lelah. Ketika kedua mata ini hendak menutup, ada suara yang seakan menamparku.
"Lain kali, beritahu kakakmu ini kalau mau pergi. Gara-gara kau aku tidak jadi ditraktir oleh temanku." omel Zayn.
"Ya ampun, kau bahkan lebih sayang makanan gratis daripada adik kandungmu sendiri?" aku balik mengomel pada Zayn.
"Besok di kampus, aku yang traktir kau makan. Sekarang aku mau tidur dulu. Aku capek." tambahku.
"ARE YOU KIDDING ME? Okay, I keep your words. And have a nice sleep, my lil girl." kata Zayn sambil mengusap kepalaku.
Dan aku baru sadar, bahwa kepalaku tak tahan dengan usapan.
***
Duhhhh, enaknya hidup Jane. Punya kakak Zayn ditambah pacar kayak Harry... Mau:( #edisiauthorikutbaper
Jangan lupa vomments ya guys ihihi!
All the love, N.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Late? » Harry » Niall »
Fanfic[Book 1] When you have to choose the one who always right beside you then left, or the one who left you then make a promise to always right beside you. ⬛⬛⬛ Copyright © 2015 by malikryptonite