"JANE, KEMANA SAJA KAU? KITA HAMPIR TERLAMBAT!" teriak Louis saat melihatku baru datang bersama Harry.
"I'm sorry bro. We just had some great memories before she have to leave me..." kata Harry sambil tertawa sambil menepuk pundak Louis.
Aku tak mengerti dengan Harry. Bagaimana bisa dia memperlakukan kakak tertuaku seperti itu tanpa membuat Lou marah. Yang ada Lou malah lebih kalem dan menyampaikan maafnya pada Harry. How come?!!!
Aku menatap Harry, dia tersenyum. Aku tahu dia hanya akting sok kuat, agar aku meninggalkan dia dengan tenang. Dia hanya memelukku erat, lalu mengecup keningku. Tapi tetap saja aku menangis.
"Jangan menangis dong, my blue girl. Even though you are my blue girl you should not feel blue." Harry membelai kepalaku. Lalu ia mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya.
"Ini buat kamu. Aku punya dua cincin. Yang H ini buat kamu, yang J buat aku." ucap Harry sambil tersenyum yang membuat lesung pipinya terlihat.
Louis dan Zayn memberi tatapan bahwa kita harus pergi sekarang juga. Jadi, aku mencium pipi Harry lalu mengatakan padanya bahwa aku akan menghubunginya saat aku sudah tiba di London.
Lalu aku masuk ke dalam mobil sedan hitam Louis dan memberikan salam perpisahan untuk Harry. Dan akhirnya Louis mulai melajukan mobilnya.
"Sekarang kita ke rumah Lena dulu ya. Dia ada urusan juga di London, jadi dia berangkat bareng kita." kata Louis.
Aku hanya mengangguk lemas. Sementara Zayn langsung pindah ke belakang karena tahu Lena akan menumpang. Helena Reid atau biasa dipanggil Lena adalah tunangan Louis. Dia seorang penyanyi country terbaik wanita menurutku. I just love her, and always support her as Louis' fiance.
Setelah sampai di rumah Lena, Louis turun dari mobil untuk menjemput Lena di rumahnya. Akhirnya Lena masuk dalam keadaan pintu mobil sudah dibukakan oleh Louis. How sweet my bro is!
Perjalanan ke London sebenarnya tidak terlalu lama. Hanya saja karena aku yang tidak begitu suka untuk pindah, perjalanan terasa sangat panjang.
"What happened to you, my lil girl?" tanya Lena, memalingkan wajahnya yang khawatir padaku.
"I don't know, Len. I just still can't accept this." ujarku pasrah.
"You will enjoy there, kiddos. You just need time." kata Louis. Aku melirik sengit padanya karena ia telah memanggilku dengan sebutam kiddos. I mean, I'm not a kid anymore! Lena hanya tertawa melihat tingkahku dengan tunangannya itu.
Aku mencoba untuk tidur dalam perjalanan. Aku sudah berbagai macam posisi, tetap saja aku tidak mendapatkan posisi yang nyaman untuk tidur.
"Kau bisa tidur di pahaku, nanti akan ku usap keningmu agar kau bisa tidur." kata Zayn dengan suara yang sangat pelan.
"Kau serius, Zayn?"
"Iya. Sebelum aku berubah pikiran."
Aku buru-buru langsung menempatkan kepalaku di atas pahanya. Dan dia menepati janjinya, dia mengusap keningku agar aku bisa tidur. Terkadang aku bersyukur punya kakak seperti dia, tapi terkadang aku sangat menyesal kenapa harus memiliki kakak seburuk dia. Buruk dalam hal attitude maksudku. Bukan tampang. Urusan tampang tak usah ditanya, aku selalu dikuntit oleh para penggemarnya sewaktu aku SMP dan SMA. Untung sekarang aku kuliah di lain kampus dengannya. Lama kelamaan aku mulai mengantuk, dan......
"Jane, bangun. Sudah sampai nih." ujar Zayn membangunkanku. Aku membuka mata perlahan sembari mengumpulkan nyawa. Lalu aku bangkit dari pangkuan Zayn, dan benar saja. Kita sudah sampai di rumah daddy. Aku belum pernah kesini, ini pertama kalinya. Karena sebelumnya, kami benar-benar tidak memiliki akses untuk menempati rumah ini.
Aku dan Zayn pun langsung turun dari mobil dan mengikuti Louis dan Lena yang sudah duluan masuk rumah.
Rumahnya cukup besar, klasik tapi elegan. Warnanya biru muda, warna kesukaanku. Dindingnya yang terbuat dari kayu mengingatkanku pada rumah yang ada di komplek rumahku di Doncaster. Daddy pasti yang merancang rumah ini. Daddy memang seorang arsitektur. Tidak terlalu terkenal tapi dia sudah dipercaya oleh beberapa perusahaan ternama.
Ketika pertama kali menginjakkan kakiku di rumah ini, aku benar-benar terkejut. I mean, really really shocked. Wajar saja uncle Brian tak melepaskan rumah ini dengan mudah. Rumah ini beda sekali dengan rumah yang kita tempati di Doncaster. Dulu kita hanya memiliki 2 kamar. Sekarang 4 kamar di rumah. Dan seluruh elemen yang ada di rumah ini sangat menakjubkan. Aku ingat, Zayn pernah cerita kalau Daddy suka sekali dengan musik dan olahraga. Tapi aku tidak menyangka rumahnya yang sebenarnya tak begitu besar bisa memfasilitasi seluruh kesukaannya seperti ini. Aku sempat keliling rumah sebentar bersama Zayn. Kita sudah melihat ada studio musik dan lapangan kecil untuk berlatih panahan.
Daddy dulu atlet panahan. Dia memenangi banyak lomba sebelum ia bertemu Mom. Bakatnya dalam hal memanah sebenarnya turun pada aku dam Zayn. Bedanya dia diasah, sedangkan aku tidak. Memang sih Zayn bukan atlet, tapi dia pernah beberapa kali menenangkan kejuaraan panahan.
Sedangkan aku lebih fokus pada musik.Segala kekesalanku hari ini hilang dengan sekejap setelah memasuki kamarku. I don't know how Daddy knows my favorite color. Andai saja dia masih disini bersama kita. Aku akan menjadi cewek terberuntung di dunia.
Akhirnya aku menjatuhkan badanku di atas kasur. Dan hampir saja tertidur sebelum teringat janjiku pada Harry.
"Hazz, just arrived in my new 'home'. Well actually I already miss you now ! See ya soon! X"
Sent.
I am just tired. I think better I'm going to sleep soon because tomorrow could be make me depress. So I close my eyes....and I don't even remember what's going on.
***
So how is it guys? Is it quite longer than before. If you read it, it would be nice if you want to vomment! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Late? » Harry » Niall »
Fanfiction[Book 1] When you have to choose the one who always right beside you then left, or the one who left you then make a promise to always right beside you. ⬛⬛⬛ Copyright © 2015 by malikryptonite