[Jane POV]
Oh Tuhan, kenapa tidak kau izinkan aku sebentar saja untuk tenang? Baru aku mendarat di Doncaster, namun masalah sudah menunggu.
"Pak, tolong antarkan aku ke Eveline Street." pintaku pada supir taksi yang segera mengangguk dan menjalankan mobilnya.
Walau aku tahu perhatian ini akan terasa sangat lama tapi aku tetap memperhatikan jalan dengan seksama. Barangkali aku menemukan sesuatu tepatnya seseorang.
Dan ternyata benar dugaanku. Aku menemukan seseorang yang sangat ku kenal didari pinggir jalan.
"Pak, tolong berhenti disini!" seruku pada supir taksi.
"Tapi ini belum sampai tujuan." ucap supir taksi kebingungan sambil memelankan laju mobilnya.
"Tak apa. Aku sudah menemukan apa yang aku cari." aku tersenyum lemah.
Aku langsung mengeluarkan uang lalu ku berikan pada supir itu lalu bergegas keluar untuk mengejar 'dia'.
Dia tampak parah. Is this even real?
"HARRY!" aku teriak kepada cowok yang sedang berjalan sempoyongan.
Dia menolehkan kepalanya lalu berjalan ke arahku. Lalu tersenyum seperti orang bodoh. He really drunk.
"Hey, sepertinya aku mengenalmu... Kau Janey kan? Ya Tuhan, sepertinya aku mencintaimu, Janey." dia mencubit pipiku.
Plak.
Aku menamparnya. Dia mengerang untuk beberapa saat, lalu kembali tersenyum seperti orang idiot.
Aku tadinya mau memarahi dia di situ juga. Tapi karena ini masih di pinggir jalan, jadi aku memutuskan untuk pergi ke sebuah kedai yang tak begitu ramai yang terletak tak jauh dari tempat aku menemukan Harry.
"Kau ini kenapa?! Sejak kapan kau minum alkohol? HAH?!" amukku padanya.
Harry sekarang sudah agak sadar, setelah aku suruh ia minum teh hangat.
"Maafkan aku, Jane. Sungguh aku tak tahu mengapa aku bisa semabuk ini, padahal aku hanya berniat untuk duduk-duduk saja di bar itu!" dia membela diri sendiri.
"Seingatku aku diajak Nash dan teman-temannya ke bar. Karena aku tidak ada kerjaan, ku iyakan saja. Di sana aku sempat memesan soda, tapi setelah meminum pesananku, aku tak ingat apa-apa." tambahnya.
Nash? Ah iya, si bajingan itu. Aku tak pernah suka dengannya tapi mau bagaimana pun juga di pacar Sam.
"Kau harus jaga jarak dengannya, Hazz. He has bad habits, ewh." kataku sambil jijik karena membayangkan semua hal buruk tentangnya.
"Kalau begitu kau juga harus jaga jarak dengan si Neil itu." Harry membalas. Matanya sekarang benar-benar dingin padaku.
Is he fucking jealous? Oh, yang benar saja. Tapi, aku senang kalau dia benar-benar cemburu. It means he cares.
"Aku tak pernah mau dekat dengannya. Tapi dia kan teman Zayn. Kau cemburu ya?" godaku pada Harry.
Harry menundukkan kepalanya dan tidak menjawab pertanyaanku. Ini artinya dia cemburu.
"Ya sudah. Aku antar kau pulang ke rumahmu ya." ajak aku pada Harry sambil meraih tangannya.
Harry hanya bergeming. Lalu menatap mataku. Tatapannya seperti berkata 'tolong-jangan'. Aku mengerti. Jika Anne tahu tentang ini, dia pasti akan sangat kecewa.
Jadilah sekarang aku dan Harry menuju ke rumahku. Aku yang menyetir. Aku ingat sekali, 1 tahun yang lalu aku memaksa Harry untuk mengajariku menyetir. Dia sebenarnya tak mau, dia pikir selama ada dirinya aku tak butuh bisa menyetir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It Too Late? » Harry » Niall »
Fanfiction[Book 1] When you have to choose the one who always right beside you then left, or the one who left you then make a promise to always right beside you. ⬛⬛⬛ Copyright © 2015 by malikryptonite