001 setitik cahaya mengandung arti

2.8K 330 309
                                    

Aruna, Kursus Seni.
08.00 am.

Langkah kaki seorang gadis dewasa dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya pagi ini terhenti di sebuah bangunan kayu yang terlihat tua namun masih kokoh. Seulas garis simpul tak lupa ia ciptakan kala dua manik mata legamnya mendapati seonggok manusia paruh baya yang sedang menyapu halaman.

"Pagi Bu Yusni, hari ini jadwalnya Ibu libur, kan?"

"Pagi Nona Aruna. Benar Non, memangnya ada apa?" kata wanita bernama Yusni itu.

"Biar Aruna aja yang beres-beres, Bu."

"Beneran gak apa-apa, Non?"

"Nggak papa dong, Bu … Ibu, kan, harus istirahat."

Bu Yusni tersenyum. Menerima perlakuan baik dan ramah dari putri majikannya yang tak pernah habis ini membuatnya malu. Jujur saja ia hanya diberi jatah libur 3 kali dalam sebulan. Kendati demikian Aruna yang tidak tega melihat wanita berumur itu kemudian memberikan jatah libur seminggu dua kali. Meski tanpa sepengetahuan Mamanya.

"Kalau begitu Ibu permisi, ya, Non," pamit Bu Yusni.

Beberapa menit selepas kepergiannya, Aruna mulai mengambil langkah berjalan santai ke dalam rumah. Melepas blazer moca yang menyelimuti tubuhnya, ia lalu terdiam di depan meja.

"Halooo, selamat pagi bidadari cantik si pemilik senyum manis!" Seorang gadis remaja berusia 15 tahun baru saja masuk dan menyapa Aruna yang tengah menatap sendu sebuah foto berlatar bangku sekolah. Foto dimana dua insan saling melukiskan senyuman terindahnya dan diambil langsung oleh sang empunya beberapa tahun silam.

Aruna berbalik, untuk mendapatkan jawaban siapa yang mengganggunya pagi-pagi seperti ini.

"Kak, coba lihat apa yang aku bawa?" tanya Reina, si murid paling aktif di kelas itu menunjukkan sesuatu yang ia jinjing di tangannya.

Beberapa saat Aruna mengerutkan dahinya samar, mencoba mengamati apa yang berada di dalam bungkusan, yang di genggam oleh muridnya itu. Selanjutnya ia mulai melemparkan tanya, "Kue pie?"

"Benar sekali. Kue apple pie kesukaan mu tapi ini buatan Mama ku, kamu harus mencobanya."

"Tunggu!" Aruna kali ini melemparkan tatapan mengintrogasi. "Jangan bilang ini sogokan untuk nilai A, Rei!"

Reina mendengus pasrah seraya menggeleng pelan. Gadis yang lebih kecil dari Aruna itu lantas melipat kedua tangannya di depan dada. "Kak, ayolah … aku udah taubat!" Gadis remaja itu berusaha membuat gurunya percaya.

Akibat terlalu sering menyogok, atau memohon untuk nilai A, Reina lakukan semata-mata agar orang tuanya tidak marah lantaran selalu mendapatkan nilai yang buruk. Tapi demi apapun, kali ini Reina sudah tidak mau melakukan itu karena sadar kalau apa yang dia lakukan adalah salah.

"Bagus kalau gitu. Aku nggak mau bantu kamu lagi, Rei. Itu sama aja aku bantu kamu untuk membohongi kedua orang tua mu. Aku---"

"Berhenti, Kak Aruna. Ceramah mu lanjutkan saja besok, sebenarnya aku ke sini ingin mengembalikan ini," potong Reina.

"Ya ampun!" Sontak Aruna merampas sebuah kotak kecil yang berada di genggaman tangan Reina begitu saja. Saking terkejutnya ia, dua bola netra Aruna bahkan melebar serta detak jantung yang mendadak berpacu dengan cepat.

Ini bukan perihal kotaknya, tapi perihal apa yang ada di dalam kotak tersebut. Untuk pertama kalinya Aruna ceroboh seperti ini. Bagaimana bisa dia kehilangan separuh dari nyawanya.

"Awalnya aku pikir itu perhiasan, dan pastinya itu berharga."

"Ini jauh lebih berharga dari sekadar perhiasan, Rei. Kenapa bisa ada di tanganmu?"

ARUNA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang