016

494 167 36
                                    

🌿🌿🌿

"Arun terlalu menutup mata dan hatinya. Padahal … tidak semua lelaki itu sama, kan, Kak Aruna?"

"Memang banyak orang yang beranggapan begitu. Tapi kenapa Arun berbeda, karena … tidak ada bukti yang menunjukkan kalau itu benar. Maksudnya, jika memang lelaki itu berbeda. Kenapa Arun tidak pernah menemukannya?" -Aruna.

"Jelasnya … trauma yang dimiliki Arun begitu besar. Sampai merubah pandangannya seperti itu. Coba jika dia mau membuka mata dan hatinya. Mungkin Arun akan merubah pandangan itu?" -Reina.

Aruna menghela napasnya. "Seandainya dia bisa."

•Audio milik Juna, -016

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Audio milik Juna, -016.
Bersamaku, akan ku ubah takut dan lukamu menjadi ketenangan, sembuh dan kebahagiaan di dalam hidupmu.

-•o0o•-

"Jangan takut, Arun!" Kalimat yang berulang kali gadis itu ucapkan dalam hatinya.

Arun melangkah masuk, dengan harapan dan yakin kalau semuanya akan baik-baik saja.

Setelah satu Minggu memikirkan ucapan Arjuna yang memang ada benarnya. Gadis itu memutuskan untuk tetap menjadi dirinya sendiri, tanpa memikirkan apapun.

Hh … sebenarnya ada banyak alasan kenapa dia harus bersikap kasar dan toxic. Tapi ya sudahlah. Lagi pula dirinya juga sudah terlalu lelah.

"Hai … ya ampun udah lama banget, lo ke mana aja?" sapa seseorang yang bahkan tidak Arun inginkan, seraya merangkul bahunya.

"Eh, lo inget gak dulu waktu lo ngemis-ngemis dan minta gue buat jadi temen lo?" lanjut Vera, yang membuat ingatan Arun secara otomatis kembali pada masa itu.

Masa dimana Arun benar-benar ingin memiliki teman. Masa, dimana Arun akan melakukan apapun demi mendapatkan seorang teman.

Ah … kalau di pikir-pikir sekarang, dia terlihat sangat bodoh, saat itu.

"Vera … mau temenan gak?" tanya Arun, dengan uluran tangan yang mengharapkan sebuah jabatan.

"Dih!" -Vera.

"Lo tuh beda level … gak usah sok-sokan pengen jadi temen kita!" seru gadis lainnya.

"Najis! Temenan sama anak seorang pemabuk dan tukang selingkuh kek bokap lo!"

"Inget, kan?" -Vera, berusaha memastikan Arun benar-benar tidak melupakan masa itu.

"Ck!" berdecak pelan, Arun yang sedari tadi hanya diam memilih untuk pergi tidak mempedulikan ocehan Vera.

"Tunggu! Main pergi-pergi aja, kan, gue belum selesai ngomong. Gue mau kasih kabar baik buat lo, mulai hari ini … lo boleh jadi temen gue!"

Yang memberi pernyataan terlihat begitu senang. Tapi demi apapun bukan jawaban 'iya' yang ingin Arun katakan. Melainkan sebuah jawaban 'tidak. Pergi. Jangan pernah mengganggunya lagi'. Jangankan seorang teman, Arun bahkan tidak membutuhkan siapapun lagi dalam hidupnya untuk sekarang.

ARUNA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang