14 | Diamond Four

9.1K 1.8K 116
                                    

"Jadi, dia alasan kamu terjebak sama aku sekarang?"

"Aku nggak ngerti maksud kamu."

Candra mendengus geli seolah jawaban Jannah terkesan lucu. "Semua orang yang lihat juga bakal tahu apa arti tatapan kamu ke laki-laki itu, Jannah. Begitu juga sebaliknya."

Ucapan Candra berhasil membuat Jannah mengalihkan perhatiannya dari jendela mobil ke arahnya. "Apa yang kamu lihat?" Mau tidak mau, ia penasaran dibuatnya.

"Kecewa ... tapi rindu." Di balik maskernya, Candra tersenyum miring. "You still not over him?"

"Jaga omongan kamu!" tukas Jannah dengan bibir menipis.

Merasa jika dirinya sudah melewati batas, Candra pun mengalah. "Oke, oke. Sorry."

Jannah tidak lagi merespons. Batin perempuan itu sibuk merutuk akan perjalanan mereka terasa sangat lama karena harus "putar balik". Ya, lokasi klinik berada di belakang butik. Seandainya saja Jannah memiliki kekuatan supernatural seperti menembus dinding, mungkin ia tidak akan terperangkap dengan Candra dan percakapan ini.

Begitu Everest Candra terparkir pada bahu jalan depan klinik, Jannah langsung turun tanpa menunggu laki-laki itu. Ia bersyukur bukan main saat menemukan klinik sedang sepi. Benar-benar hanya ada petugasnya seorang.

"Boleh minta KTP sama nomor handphonenya?"

"Oh iya." Jannah langsung merogoh hand bagnya, lantas menyerahkan KTP seraya mendikte nomor teleponnya. Saat itu juga Jannah mendapati tangan lain yang lebih besar dan berurat, turut memberikan KTP-nya. Tidak seperti Jannah, Candra justru memberikan kartu namanya.

Melihat hal tersebut, Jannah memutar mata. Kalau orang lain melihatnya mungkin akan menganggap Candra bersikap inisiatif. Memang, yang dilihat petugas hanyalah "nama" mereka demi menghindari kesalahan penulisan jika hanya diucapkan. Tidak dipungkiri, semakin berkembangnya zaman, nama-nama individu pun semakin unik. Sayangnya, di pandangan Jannah sendiri, lelaki itu terlihat pamer. Candra pasti bukan hanya ingin memberi tahu nama sekaligus nomor ponselnya di kartu tersebut, tapi juga gelar serta profesinya.

Kesal dengan pemikirannya sendiri, Jannah pun duduk di kursi ruang tunggu yang tersedia sambil menunggu sang tenaga kesehatan selesai menyalin data mereka dalam personal computernya. Begitu pun Candra. Ia mengikuti jejak Jannah dengan duduk tepat di samping perempuan itu.

"Jaga jarak. Kamu duduk di tanda X," titah Jannah, begitu lirih agar tidak mengusik petugas.

"Kalau kamu lupa, kita bahkan satu tempat tidur, Jannah."

Jannah langsung melotot penuh saat Candra bahkan tidak berusaha mengecilkan suaranya. "Kamu udah gila ya?! Jangan aneh-aneh di tempat umum!" Ia refleks memberi cubitan pada paha Candra yang otomatis mengaduh kecil.

Sebelum pertengkaran mereka semakin menjadi, untunglah Jannah dipanggil untuk masuk ke dalam ruangan. Tidak butuh waktu lama bagi perempuan itu melakukan swab, sebelum akhirnya bergantian dengan Candra.

Dan di sinilah mereka sekarang. Kembali duduk di tempat semula sementara menunggu hasil yang baru akan keluar setengah jam lagi.

Tidak seperti sebelumnya, Candra menyadari kegelisahan pada diri Jannah saat ini. Perempuan yang selalu tampil percaya diri dan tegas itu, mendadak memancarkan aura berbeda. Ada kekhawatiran di dalamnya.

"You okay, Jannah?"

Pertanyaan Candra sontak membuat kedua mata Jannah terpejam sejenak. Kemudian ia mengerling tajam pada Candra. "Apa kamu harus sepeka itu terhadap sesuatu?"

Candra terkekeh. "Relax, Jannah. Kalau hasil swab yang kamu takutin, aku berani jamin kita nggak apa-apa."

"Cuma karena aku nggak bergejala, bukan berarti aku bebas dari virus." Jannah mendengus kesal. "Aku pikir kamu dokter."

"Aku cuma berusaha bikin kamu tenang." Candra lantas mendaratkan telapak tangannya di puncak kepala Jannah. Hal yang sangat tidak terduga dan ternyata sungguh berbahaya bagi jantung perempuan itu. "Di sini, tempat yang paling bahaya karena ngundang banyak penyakit. Jangan terlalu dipikirin, nanti kamu malah stres."

Mendadak tenggorokan Jannah terasa kering. Lagi dan lagi, ia bersyukur karena masker yang menutupi sebagian wajahnya. Candra tidak akan bisa melihat kegugupan di bibir Jannah yang sedang mengap-mengap. Tidak tahu harus merespons apa.

Sepertinya Jannah perlu mengubah harapannya. Jika diberikan kekuatan supernatural, ia ingin mempercepat waktu ke 30 menit ke depan agar tidak berlama-lama dalam situasi seperti ini dengan Candra.

***

Candra sedang mandi saat Jannah tengah menyiapkan bawaannya. Tidak lupa, perempuan itu langsung memasukkan dua paper bag besar ke dalam koper begitu saja. Tanpa berusaha mengintip. Tanpa ada kecurigaan sedikit pun.

"Apa itu?"

Jannah sontak terlonjak dari tempatnya. Sosok Candra tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingnya dengan rambut basah. Lelaki itu juga sudah mengenakan pakaiannya di kamar mandi. Ya, setelah Jannah meminta. "Jangan ngagetin dong!" sewotnya, lalu berdecak. "Piyama."

Sebelah alis Candra terangkat. "Harus banget dibawa sama bungkusnya?"

"Ini kado dari Meera. Aku udah janji buat nggak ngintip dan bukanya pas sampai Bali."

Candra hanya manggut-manggut. Sama seperti Jannah, lelaki itu juga tidak menaruh curiga apa pun. Terlebih, hal tersebut adalah pemberian dari adik iparnya.

"Jadi ..." Candra duduk di tepi ranjang seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. "Kamu skorpio?"

Jannah nyaris tidak percaya mendengar pertanyaan itu. "Jangan bilang kamu percaya sama zodiak?"

"Aku cuma tanya." Candra mengangkat bahu, singkat. "Kalau aku percaya, mungkin aku nggak akan setuju sama perjodohan ini."

Tertarik dengan pembahasan lebih lanjut, Jannah pun mengabaikan kopernya dan menaruh perhatian penuh pada Candra. "Kenapa?"

"Akuarius dan skorpio itu sulit disatukan sebagai pasangan. Akuarius yang bebas merdeka, akan merasa tertekan dengan skorpio yang selalu pengin dilibatkan dalam urusan pasangannya. Dua-duanya saling mendominasi dan mempertahankan posisi sebagai 'alfa' dalam hubungan. Pasangan yang keras kepala, yang cuma akan menguras energi, pikiran, juga emosi," ujar Candra, lancar.

"Kamu tahu itu dari mana?"

"Salah satu artikel."

"Kamu yang nulis artikelnya? Hafal banget," sindir Jannah, lantas berdecih. "Aku sama sekali nggak posesif. Aku masa bodoh sama urusan pasangan aku."

"Aku cuma ngejelasin yang aku baca karena kamu nanya itu, Jannah. Aku nggak ada niat buat kamu tersinggung."

Jannah tidak menanggapi. Ia kembali sibuk memeriksa kopernya sampai suara Candra lagi-lagi membuat ia terpaksa mengalihkan perhatiannya. "Apa?" respons Jannah, super ketus.

Candra—yang kini sudah siap berbaring di ranjang dengan selimut yang telah menutupi sebagian tubuhnya—pun menghela napas. "Segera tidur. Jam 02:30 nanti kita berangkat."

Jannah hanya bergumam membalasnya. Begitu memastikan Candra sudah tertidur, perempuan itu melemparkan tatapan tajam pada sosok maskulin yang terbaring di ranjang. "Dasar orang aneh. Zaman sekarang masih ngebahas soal zodiak padahal dia sendiri nggak percaya. Bilang aja mau ngehina. Siapa juga yang mau dilibatin sama urusan dia? Artikel ngaco begitu udah jelas-jelas salah," gerutu Jannah, berbisik-bisik bak ular yang tengah mendesis.

"Jadi ..."

Suara berat itu membuat Jannah kontan terkesiap. Dilihatnya Candra mulai membuka mata dan melemparkan seringai. Rese! Lelaki itu belum tidur!

"... secara nggak langsung kamu berharap kalau kita cocok?"

SHIT!

*

Author's Note:
Bacalah selagi "On Going" di Wattpad. Cerita ini sudah TAMAT dan lengkap di KaryaKarsa (@ Junieloo).
Untuk informasi selengkapnya, baca bab "Info Penting" sebelum PROLOGUE, ya.

Thank uLove uSee u

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang