07 | Spade Four

12.5K 2K 73
                                    

Jannah sedang menikmati kelembutan tekstur creamy pasta di mulutnya saat Candra memulai percakapan kembali setelah beberapa menit saling sibuk dengan makanan masing-masing.

"Omong-omong, selain kamu, saya juga ingin buat kesepakatan."

Gerakan mengunyah Jannah pun melambat. "Apa?" tanyanya datar, begitu mulutnya sudah kosong.

"Saya tahu, bakal ada kehidupan sendiri di pernikahan kita nanti, tapi ..." Seraya mengiris daging di atas piringnya, Candra mengutarakan keinginannya, "Saya minta kamu nggak dekat-dekat sama laki-laki lain. Seenggaknya, di depan kedua orang tua saya dan keluarga kamu. Kalau orang lain yang lihat, kamu bisa tanggung sendiri nama baik kamu."

Jannah menyipitkan mata. Apakah Candra melihat dirinya bersama Hamish sebelumnya? "Maksud kamu?"

"Saya ngelihat kamu terlalu akrab sama laki-laki di acara pernikahan kembaran kamu kemarin. Tindakan gegabah itu bisa ngebuat Mama Papa saya curiga kalau saya tampak nggak masalah. Mengingat kamu nggak suka drama, saya nggak mau ganggu kamu. Jadi, sekarang saya bilang," ujar lelaki itu, tanpa ekspresi.

"Ares?"

Candra mengangkat bahu. "Saya nggak peduli namanya dan siapa dia, saya cuma—"

"Dia sepupu saya." Jannah mendengus saat Candra terkesiap di tempat. Bisa ia tebak, lelaki itu sedang malu saat ini. "Listen, tujuan saya setuju dengan ide pernikahan ini karena kamu bisa diajak kerja sama. Kamu lupa kalau saya udah muak sama percintaan?"

Sial! Jannah benar juga. Namun, karena dirinya tidak ingin terlihat memalukan, Candra pun mengalihkan topik pembicaraan. Salah! Pilihan yang salah karena tatapan Jannah yang memang selalu kurang bersahabat padanya itu semakin terasa dingin dan menusuk.

"Sefrustrasi itu kamu sampai menerima ide orang tua kita?" Candra segera berdeham pelan dan meralat ucapannya ketika suasana di antara mereka terasa tidak nyaman, "Maaf. Saya nggak bermaksud—"

"Saya pernah berada di posisi mencintai dan dicintai. Seenggaknya, begitu yang saya kira." Jannah mengembuskan napas. Pandangan kosongnya terarah lurus pada embun di gelas minuman Candra yang masih sangat dingin. "Sampai saya nemuin kenyataan kalau bukan hati yang dia pengin dari saya, tapi ..."

Candra tidak menginterupsi. Meski begitu, ia berharap Jannah melanjutkan kisahnya karena mendadak ia merasa penasaran. Akan tetapi, harapannya tidak terkabul. Jannah tiba-tiba saja mengibaskan tangannya dan berucap, "Forget it."

"Let me guess ..." Candra sudah terlanjur ingin tahu. "Anak?" tebaknya, hati-hati. Saking tidak ingin menyinggung lawan bicara, suara beratnya pun terdengar sangat lirih. Walau begitu, Candra tetap jengkel terhadap dirinya sendiri karena telah menelusuri Jannah dan kehidupannya terlalu dalam dari apa yang seharusnya ia ketahui.

Jannah terbeliak. "How did you now?"

"Dua kali kita ketemu, yang kamu selalu bahas adalah keinginan buat nggak punya anak. Saya tentu jadi berasumsi ke arah sana." Candra mendapati Jannah mengalihkan pandangan ke luar jendela restoran. Ia mengerti, permasalahan seperti ini bukanlah hal yang mudah dilalui bagi Jannah. Maka dirinya membiarkan Jannah sejenak untuk perempuan itu mengontrol emosi negatif dalam dada sampai dirasa lebih terlihat tenang dan Candra mulai melanjutkan, "Kamu percaya saya nggak akan begitu nantinya?"

"Saya nggak cinta kamu." Jannah menghela napas. Entah mengapa kepalanya mendadak penat seolah telah melakukan aktivitas berat sepanjang hari. Memikirkan, membahas, dan mengungkit masa lalu tidak pernah gagal membuatnya lelah. "Kalaupun kamu ingkar janji dan mengabaikan surat kesepakatan kemarin, saya nggak akan sakit hati. Semua akan baik-baik aja karena lebih mudah buat lepas dari kamu."

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang