09 | Spade Two

9.4K 1.6K 77
                                    

Begitu Everest putih Candra telah terparkir sempurna, lelaki itu lantas turun dari kendaraannya dan berlari-lari kecil ke dalam butik. Di sana ia melihat Jannah tengah duduk di sofa yang tersedia, sibuk menggulir layar ponsel. Terlihat seperti perempuan itu sudah selesai dengan urusannya.

"Maaf, macet."

Jannah hanya melihat Candra dari balik bulu mata lentiknya. Tidak sedikit pun berniat mendongakkan kepala pada sosok yang tengah berdiri menjulang di hadapannya. "Langsung masuk ke dalam aja. Udah ditunggu," ucap perempuan itu acuh tak acuh, lalu kembali sibuk telepon genggamnya.

Posisinya yang saat ini bisa melihat dengan jelas layar ponsel Jannah walaupun terbalik, membuat Candra mengerti jika Jannah memang hanya tidak ingin berlama-lama mengulur waktu. Perempuan itu hanya "sibuk" menonton konten orang lain di Instagram reels. "Kamu nggak mau nemanin saya?"

Pertanyaan itu sanggup berhasil membuat Jannah bergegas bangkit dari tempat, tapi bukan untuk menuruti harapan Candra. Melainkan untuk meminta sesuatu yang tidak terduga. "Sini, kunci mobil kamu. Saya mau tunggu di sana aja," ucapnya sambil mengulurkan tangan.

Candra mengernyit. "Kamu nggak diantar supir?" tanyanya, heran. Meski begitu, ia tetap menyerahkan kunci mobilnya.

"Dikarenakan ada yang lupa sama tanggal fitting kita, maka saya harus naik taksi sendirian soalnya supir saya lagi nikmatin waktu istirahat yang saya kasih hari ini," sindir Jannah. Entah mengapa Candra yakin jika bibir di balik masker duckbill itu menipis saat mengucapkannya. "Mobil apa?"

"Everest, putih. Plat belakangnya huruf DOK."

Jannah terkekeh mendengarnya seolah Candra baru saja melucu. "Nggak sekalian nambahin TER?"

Mengerti apa yang Jannah maksud, Candra menghela napas. "Cuma kebetulan. Saya nggak ada berniat pamer ke seluruh pengguna jalan kalau itu yang kamu pikir, Jannah."

"Percaya." Jannah puas menyeringai di balik maskernya sebelum memilih berlalu, meninggalkan Candra yang bergeming.

Sekali perempuan, tetap perempuan.

Seraya memandangi pintu kaca yang perlahan tertutup usai dilewati oleh Jannah, Candra bertolak pinggang. Tenggelam dalam pemikirannya.

Candra pikir, Jannah tidak memiliki sifat suka "menyindir" seperti yang barusan terjadi. Candra pikir, Jannah berbeda dari perempuan kebanyakan. Namun, anehnya...

Ia tidak sedikit pun berniat membatalkan pernikahan ini.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Jannah menunggu Candra selesai di dalam mobil lelaki itu. Tidak butuh waktu lama juga bagi kendaraan beroda empat milik Candra tancap gas membelah jalanan kota Jakarta Selatan.

Sedang fokus menyetir, tiba-tiba perhatiannya teralihkan pada Jannah yang mengembuskan napas panjang dan berat. Candra pun melirik perempuan itu sekilas, lantas mendapati Jannah sudah menyandarkan pelipisnya pada kaca mobil.

"Mulai ragu sama keputusan kamu?" tanya Candra, memecah keheningan di antara mereka.

Kemudian Jannah menurunkan maskernya hingga ke bawah dagu seolah benda tersebut membuatnya sesak. Sebelumnya, ia memang sudah lebih dulu menyemprotkan cairan pembunuh virus di mobil Candra. "Nggak. Karena belum tentu orang lain bisa diajak kerja sama kayak kamu," ujarnya, mengulang ucapan Candra tempo lalu.

"Ingatan kamu kuat juga." Candra terkekeh. Berbeda dengan Jannah, masker lelaki itu setia melindungi sebagian wajah bagian bawahnya. "Terus, kenapa? Karena kamu bakal pakai gaun pengantin rancangan orang lain?"

Jannah mengernyit. "Kenapa kamu mikir begitu?"

"Kamu bad mood dari awal saya datang."

"Kamu berharap apa? Saya kegirangan sampai loncat-loncat?" Jannah mendengus sambil memutar kedua bola matanya. "Pernikahan ini bukan keinginan kita berdua. Wajar aja saya nggak berekspresi."

"Berarti memang begitu ya."

"What?"

Candra melemparkan tatapan jahil pada Jannah. "Wajah kamu emang jutek."

Jannah melotot horor. "Kamu juga jelek!"

"Saya bilang jutek, Jannah. Bukan jelek."

"Sama aja! Kamu menghina saya." Jannah berdecak keras seraya menyilangkan kedua tangan di atas perut. "Saya jadi curiga, kamu nggak nikah-nikah bukan karena mau fokus sama kerjaan tapi emang karena nggak ada yang mau."

Alih-alih tersinggung, Candra justru tergelak mendengarnya. Jannah sampai bingung, apa lelaki itu mendadak sinting? "Kamu lucu, Jannah. Saya ini punya tampang oke, karier cemerlang, dan berasal dari keluarga terpandang, perempuan mana yang nggak mau sama saya?" ujarnya, pongah. Meski begitu, Jannah tidak dapat menampik fakta tersebut. "Cuma kamu, Jannah ..."

Jannah yang baru akan membuka mulut pun mengurungkan niat. Tidak berniat menginterupsi dan membiarkan Candra melanjutkan kalimatnya, "Cuma kamu yang nolak saya. Sebutlah kamu setuju sama rencana pernikahan ini, tapi kamu selalu nggak peduli kehadiran saya. Dan saya paham alasannya."

Sebelah alis Jannah menukik. "Apa?"

"Karena kamu sempurna. Kamu dan saya sama-sama nggak ada celanya." Di balik masker, Candra membentuk senyuman miring. "Kamu nggak punya kekurangan. Kamu nggak butuh saya."

"Kamu keliru kalau begitu."

"Hmm?"

"Saya banyak kurangnya."

Ucapan Jannah berhasil membuat Candra melirik sekilas pada Jannah, "Oh iya?"

"Saya juga manusia, Candra!" tukas Jannah, kesal. "Kamu cuma belum kenal saya."

Candra manggut-manggut. Entah mengapa terdapat getaran asing di tubuhnya saat Jannah mengucapkan namanya. "Kalau begitu, boleh saya kenalan sama Jannah yang manusiawi itu?" Lalu Candra menarik maskernya hingga ke dagu, sama seperti Jannah dan melemparkan tatapan teduh pada perempuan di sisinya saat lampu merah membuat seluruh kendaraan berhenti sejenak. "Kita bakal tinggal bersama, Jannah. Saya nggak mau kamu capek sendiri pakai topeng di depan saya."

"Kamu pikir saya lagi pura-pura?" Jannah mencondongkan badannya ke samping, mendekatkan wajahnya dengan Candra. "Cuma karena saya bilang saya punya kekurangan, bukan berarti kamu bisa menilai saya. Itu hak saya buat jadi bagaimanapun di depan kamu. Kalau kamu lupa, status kita nanti hanya untuk senjata buat kita ngehindarin pertanyaan orang lain dan hidup sebagaimana yang kita inginkan. Jadi, tolong ingat posisi kamu."

Begitu Jannah menarik diri, Candra bergegas menghirup udara dalam-dalam. Tanpa sadar, sejak wajah Jannah hanya berjarak sejengkal dengannya, lelaki itu mendadak lupa bagaimana caranya bernapas.

Sial! Jannah benar, Candra tidak punya urusan akan hal tersebut. Ia seharusnya tidak peduli jika Jannah mengenakan banyak topeng sekaligus di hadapannya...

Karena dirinya juga tidak apa adanya.

*

Author's Note:
Bacalah selagi "On Going" di Wattpad. Cerita ini sudah TAMAT dan lengkap di KaryaKarsa (@ Junieloo).
Untuk informasi selengkapnya, baca bab "Info Penting" sebelum PROLOGUE, ya.

Thank uLove uSee u

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang