08 | Spade Three

10.7K 1.8K 79
                                    

"Papa bilang udah ditetapin tanggal pernikahannya. Kamu setuju, Jan?"

Jannah yang sedang membuat pola untuk mahakarya selanjutnya, sontak membatu. Posisi perempuan itu memang tengah memunggungi sang mama yang hari ini mampir untuk menjenguk perkembangan butik di tangan anaknya, tapi Ermina bisa melihat sepasang bahu mulus tersebut menegang.

"Papa nggak diskusi dulu sama kamu ya?" tebak Ermina jengkel, begitu Jannah menunjukkan reaksi tidak terduga.

Jannah mengembuskan napas. Ia terlebih dulu meletakkan pensil di atas meja sebelum akhirnya berbalik badan. "Papa ngasih tahu kok. Aku juga bilang, aku ikut aja," jawabnya, tidak berbohong. Hanya saja, Jannah tidak mau tahu dan tidak mau repot. Kalaupun tiba-tiba besok adalah tanggal pernikahannya dan Candra, ia siap karena tidak perlu "mempersiapkan" apa pun.

Tidak ada yang perlu "dipersiapkan" darinya.

"Jannah ..." Ermina menatap Jannah dengan khawatir. "Kamu yakin sama semua ini? Pernikahan itu bukan hal main-main lho. Walaupun Mama merasa memang Purnomo baik dan tepat buat jadi bagian dari kita, bukan berarti Mama menomorduakan kebahagiaan kamu. Kalau kamu mau batal sekarang pun bisa bilang sama Mama. Biar Mama bilang si Pa—"

"Ma, nggak gitu." Jannah menyandarkan pinggulnya pada pinggiran meja kerjanya. "Aku tertarik kok sama Candra. Dia juga bilang begitu," kilahnya.

Tatapan Ermina seketika berubah jadi jahil. "Dia juga?"

Jannah mengangguk santai. Pura-pura tidak paham akan senyum usil di wajah sang mama yang tidak lagi muda. "Iya. Kemarin juga kita ketemuan lagi buat ngeyakinin cocok atau nggaknya."

"Ketemuan berdua aja?"

"Iya, Ma."

Entah mengapa Ermina merasa tenang mendengarnya. "Syukurlah, Jan. Kalau emang kalian sama-sama tertarik, Mama udah nggak punya alasan buat maksa kamu nurutin kata hati."

"Ini kata hati aku, Ma." Jannah terdiam sejenak. "Aku pengin benar-benar fokus ke masa depan."

Tatapan Ermina meneduh. Ia tahu apa alasan besar di balik keputusan sang anak walaupun tidak pernah lagi diungkapkan. "Iya. Mama harap feeling Papa benar. Karena Mama nggak mau adanya perceraian lagi di Salim. Kalau kamu nggak yakin, masih ada waktu, Jannah. Lebih baik berhenti sebelum mulai dalam kasus ini."

Dengan kemantapan hati, Jannah tersenyum. "Nggak akan ada perceraian, Ma."

Tentu, memang apa yang Jannah takutkan? Melihat Hamdan yang begitu percaya pada Rudi, sudah meyakinkan Jannah bahwa background Purnomo bukanlah orang jahat. Terlebih, Candra bersedia mengikuti permainan mereka untuk memiliki kehidupan masing-masing dalam pernikahannya. Ia juga tidak mencintai Candra. Pun sebaliknya. Tidak akan ada penorehan luka yang menjadikan mereka sakit hati dan ingin bercerai.

Jannah bisa pastikan itu.

Yang Jannah tidak sadari adalah jika sebuah permainan pasti memiliki akhir.

"Oh iya, Jan. Berarti, kalau emang kamu udah nggak canggung gitu sama Candra, nanti pas fitting berduaan aja ya berarti. Nggak usah sama Mama."

Jannah mengerjap-ngerjap. "Ah? O-oh ..." Perempuan itu berdeham kecil. "Iya."

"Meera juga nggak usah diajak. Entar Mama bilangin dia biar nggak ganggu waktu kalian."

Double kill.

Diam-diam, Jannah berdecak pelan. Begitu pelan sampai Ermina tidak mengerti mengapa tiba-tiba Jannah memalingkan wajah. "Kenapa, Jan?"

"Emm?" Sedetik kemudian ia menyadari jika sang mama sepertinya menaruh curiga. Segera, ia menggeleng. "Nggak. Cuma kepikiran, nanti pasti bakal kangen Mama," ujarnya, tidak sepenuhnya berbohong.

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang